Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ka Maki Reba

14 Desember 2024   16:12 Diperbarui: 15 Desember 2024   19:52 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau selama ini turis asing hanya kenal kampung Bena di sisi timur gunung Inerie, maka belumlah lengkap jika para wisatawan belum datang kedua kampung yang persis berada di bawah kaki gunung Inerie bagian selatan.

Saya masih ingat kalau hari Sabtu atau Minggu saya dan kadang adik saya sering secara bergilir diundang untuk nginap di Sao Meze yang satu ke Sao Meze yang lain. Sudah tak terhitung berapa Sao Meze yang sudah menerima kepalaku bisa tertidur lelap setiap saya berkunjung ke sana.

(para bapak dengan pakaian adat dan sedang menikmati nasi dan daging di wati, foto: Om Nico Gere)
(para bapak dengan pakaian adat dan sedang menikmati nasi dan daging di wati, foto: Om Nico Gere)

Reba memang pesta rakyat yang sangat menggembirakan dan menyatukan semua keluarga yang ada dalam kedua kampung itu. Reba menjadi momen rekonsiliasi seluruh anak cucu dari para leluhur yang selalu setia menunggu mereka datang dan berpesta bersama.

****

Salah satu pengalaman makan nasi reba yang paling menyenangkan yakni saat meghe maki. Meghe maki bisa dijelaskan sebagai saat seluruh warga kampung tak terkecuali siapapun diundang untuk menerima nasi dan daging.

Kita hanya datang membawa piring kosong. Ketika pertama kali datang saya sangat malu untuk ikut. "Kok bawa piring kosong?" Saya kira kami disuruh minta-minta. Ada yang bawa piring, ada yang bawa rantang lengkap dengan tutupnya. Ada yang bawa wati (piring dari anyaman daun lontar) lengkap dengan tutupnya.

Membayangkan semua pengalaman itu bikin lucu dan tertawa sendiri. Ternyata sangat mengesankan hingga kini. Datang bawa piring kosong, pulang bawa piring penuh nasi dan daging.. bagi anak kecil mungkin inilah yang namanya mukjizat.. datang bawa piring kosong pulang bawa gunungan kecil.

(pembagi daging sedang berkeliling membagikan daging ke setiap piring yang sudah berisi nasi, foto: Om Nico Gere)
(pembagi daging sedang berkeliling membagikan daging ke setiap piring yang sudah berisi nasi, foto: Om Nico Gere)

Satu hal yang bikin saya malu, suatu waktu saya membawa rantang lengkap dengan tutupnya, maksudnya agar saat pulang (kalau tidak makan di tempat) nasinya bisa terlindungi dari debu. Tahu toh Malapedho kalau musim panas debunya seperti asap kebakaran hutan di Kalimantan atau Sumatera.

Saya membuka rantang dan meletakkan di tanah menunggu giliran orang membagi maki nee sui (nasi dan daging). Saat rantang diisi oleh seorang bapak yang dengan lincah dan cepat bergerak menaruh nasi dari piring ke piring yang berjejer, saya masih anggap biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun