Impor Ikan Padahal Lautan Kita Lebih Luas dari Birokrasi
Pak Slamet adalah seorang nelayan yang sangat mencintai laut. Setiap pagi, dia melaut dengan harapan mendapatkan ikan segar untuk dijual di pasar. Namun, entah kenapa, setiap kali dia ke pasar, dia melihat banyak orang menjual ikan yang berasal dari Jepang, Cina, Vietnam, dan negara-negara lain. Ada yang lucu sekaligus membuatnya garuk-garuk kepala.
"Eh, Mas Joko! Kenapa kamu jualan ikan dari Jepang? Sini, ikan kita kan banyak!" seru Pak Slamet kepada tetangganya yang bernama Joko.
"Ah, Pak Slamet. Ikan dari Jepang itu lebih enak, banyak yang suka! Lagi pula, lebih cuan!" jawab Joko sambil tersenyum lebar.
Pak Slamet menggelengkan kepala. Di dalam hati, dia berpikir, "Mau enak dari mana? Ikan yang saya tangkap jelas lebih segar!" Dia pun melanjutkan harinya melaut.
Suatu ketika, ketika Hari Nusantara tiba, sebuah acara besar pun diselenggarakan. Semua orang berkumpul merayakan kekayaan laut Indonesia. Di sebuah panggung besar, ada hiburan tradisional, tari-tarian, dan yang paling mencuri perhatian adalah makanan laut yang disajikan. Namun, saat Pak Slamet melihat menu makanan, alangkah terkejutnya ia saat menemukan banyak hidangan yang terbuat dari ikan impor, dengan harga yang selangit!
"Loh, ini acara Hari Nusantara, kenapa yang disajikan bukan ikan kita?" protes Pak Slamet.
"Ah, Pak Slamet. Ikan dari luar itu lebih favorit! Siapa yang mau bisnis kalau jualan ikan lokal?" balas seorang pengurus acara dengan percaya diri.
Malangnya, sikap ini seolah seperti kutub utara dan selatan. Di satu sisi, Pak Slamet berusaha keras menangkap ikan lokal, sementara di sisi lain, banyak orang yang lebih memilih keuntungan instan dari impor ikan, sambil mengabaikan potensi laut yang melimpah.
"Mau natalan juga sama, ya?" gumam Pak Slamet sambil memperhatikan ikan-ikan dari luar negeri yang mendominasi meja pamer. "Impor Rumput Laut dari Jepang? Kita kan punya pantai berhektar-hektar!"
Hari berganti, Pak Slamet pun mendapatkan ide. Ia mengumpulkan semua nelayan di desanya dan merencanakan Festival Ikan Nusantara. Mereka akan memasak berbagai jenis ikan lokal dengan bumbu andalan nenek moyang. Slogan festival pun ditetapkan, "Jangan Terlalu Mengidolakan Ikan Impor, Lautan Kita Melimpah Ruah!"
Setelah seminggu persiapan, Festival Ikan Nusantara pun digelar. Ribuan orang dari segala penjuru datang meramaikan acara tersebut. Saat pengunjung mencicipi ikan lokal yang segar, mereka ternganga.
"Wah, rasanya jauh lebih enak! Kenapa kita tidak tahu dari dulu ya?" kata seorang pengunjung sambil melahap ikan bakar.
Pak Slamet dan para nelayan pun semua tersenyum lebar, mengetahui bahwa minyak goreng dalam perut mereka bukanlah hasil adonan bahan impor, melainkan dari hasil tangkap sendiri. Mereka pun menyadari, perilaku impor yang berlebihan hanya akan merugikan usaha lokal dan mengancam keberlangsungan sumber daya dalam negeri.
Setelah acara itu, orang-orang mulai beralih ke ikan lokal. Joko yang awalnya menjual ikan impor pun kebingungan melawan arus pasar yang mulai beralih.
"Pak Slamet, apa saya boleh jual ikan lokal lagi?" tanya Joko, sambil terlihat cemas.
"Boleh saja, tapi jangan lupa, slogan terbaru kita adalah: Ketika Impor Adalah Pilihan, Lautan Adalah Kenyataan!" jawab Pak Slamet sambil tertawa.
Sejak saat itu, semakin banyak yang berkeinginan untuk berbisnis ikan lokal, bahkan sampai-sampai mengadakan perjanjian dengan Pak Slamet untuk menjadi mentor. Konsep Hari Nusantara pun semakin melekat dan dikenal sebagai hari perayaan sumber daya lokal yang tak boleh dipandang sebelah mata lagi.
Dengan senyuman penuh arti, Pak Slamet merenungkan, "Impor ikan dari luar? Mari rayakan lautan kita yang lebih luas daripada jalur birokrasi yang kadang bikin kita bingung!"
Dan begitulah, Pak Slamet, sang nelayan pahlawan lokal, mengajari semua orang bahwa kadang-kadang, 'cinta laut' berarti lebih dari sekadar mencari untung: itu tentang melestarikan dan merayakan kekayaan yang sudah ada di hadapan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H