KOPI DAN HUJAN TENGAH HARI
(tentang Politisi Oportunis)
Di awal, janji menyeruak harum,
Seperti kopi tersaji dalam dekapan hujan,
Politisi menabur kata, manis penuh angan.
Di tengah, rasa mulai hambar,
Kopi yang mendingin, janji yang memudar,
Hujan berubah menjadi tirai kepalsuan, samar.
Di akhir, pahit mengendap di dasar,
Ambisi teraih, rasa pun tak bersisa,
Aji mumpung jadi mantra, lawan tak lagi tersadar.
***
Saya mencoba mengulas ketiga bait puisi di atas dari sudut pandang psiskologi, politik, sosiologi dan antropologi terhadap mentalitas politisi oportunis yang gila kekuasaan, yang ingin menguasai hajat hidup orang banyak dengan mengutamakan politik dinasti (yang cenderung tak tahu diri). Lalu dari sana kita bertanya lebih menukik, bagaimana sebaiknya perpolitikan Indonesia dijalankan secara lebih beretika dan bermoral agar memutus mata rantai politik dinasti yang diwariskan turun temurun?
Meneropong melalui Empat Perpektif
1. Perspektif Psikologi: Nafsu Kekuasaan dan Manipulasi
Politisi oportunis digerakkan oleh kebutuhan kekuasaan yang tinggi, sesuai dengan teori motivasi McClelland*. Hasrat mendominasi dan memengaruhi menjadi dorongan utama, sering kali tanpa diimbangi empati atau tanggung jawab moral. Hal ini menciptakan perilaku narsistik: berfokus pada pencapaian pribadi dan mengabaikan kebutuhan masyarakat.
[*Teori motivasi McClelland mengemukakan bahwa individu dipengaruhi oleh tiga kebutuhan utama: kebutuhan untuk berprestasi (nAch), yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan dan mengatasi tantangan; kebutuhan untuk berafiliasi (nAff), yang mendorong seseorang untuk membangun hubungan sosial yang baik dan diterima oleh orang lain; dan kebutuhan untuk berkuasa (nPow), yang mendorong seseorang untuk mempengaruhi atau mengendalikan orang lain. Ketiga kebutuhan ini berkembang melalui pengalaman dan lingkungan, dan memiliki pengaruh yang berbeda pada perilaku individu.
Jika diuraikan satu demi satu: Kebutuhan untuk Berprestasi (Need for Achievement - nAch): Kebutuhan untuk mencapai keberhasilan, mengatasi tantangan, dan memperoleh pengakuan atas hasil kerja keras. Individu dengan kebutuhan ini cenderung mencari tugas yang menantang namun masih dalam batas kemampuan mereka. Kebutuhan untuk Menghubungkan Diri dengan Orang Lain (Need for Affiliation - nAff): Kebutuhan untuk diterima dan memiliki hubungan yang baik dengan orang lain. Individu dengan kebutuhan ini lebih menyukai lingkungan yang harmonis dan mendukung. Dan Kebutuhan untuk Kekuasaan (Need for Power - nPow): Kebutuhan untuk mempengaruhi, mengendalikan, atau memimpin orang lain. Individu dengan kebutuhan ini ingin memiliki kontrol atau pengaruh dalam situasi sosial dan profesional.]
Dalam psikologi sosial, politisi oportunis kerap memanfaatkan cognitive dissonance di masyarakat. Mereka menggunakan retorika moral yang tampak altruistik untuk menutupi agenda pribadi, menciptakan kebingungan dan justifikasi di kalangan pendukung. Ini memperkuat budaya ketergantungan pada figur, bukan pada prinsip.
2. Perspektif Politik: Defisit Etika dan Sistem yang Lemah
Dari sudut politik, fenomena ini menunjukkan lemahnya integritas dalam tata kelola kekuasaan. Sistem politik yang tidak transparan memberi ruang untuk praktik nepotisme dan eksploitasi. Posisi publik dipandang sebagai alat akumulasi kekayaan, bukan amanah pelayanan.
Partai politik kerap gagal dalam kaderisasi yang etis dan profesional. Popularitas dan kemampuan finansial lebih diprioritaskan dibandingkan integritas. Akibatnya, sistem politik lebih mengedepankan kompetisi pragmatis ketimbang pelayanan publik yang berkelanjutan.
3. Perspektif Sosiologi: Melemahkan Demokrasi dan Solidaritas
Secara sosial, politisi oportunis merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokrasi. Janji yang sekadar alat manipulasi menciptakan skeptisisme yang menghambat partisipasi aktif. Hubungan patron-klien juga dominan, menciptakan ketergantungan pada individu tertentu untuk mengakses layanan publik.
Fenomena ini memicu polarisasi sosial. Kelompok yang diuntungkan membela politisi secara tidak kritis, sementara kelompok yang dirugikan terpinggirkan. Ketimpangan ini merusak solidaritas dan memicu konflik horizontal, menghambat realisasi nilai keadilan sosial.
4. Perspektif Antropologi: Warisan Feodalisme dan Politik Dinasti
Dalam budaya politik Indonesia, politisi oportunis memanfaatkan nilai-nilai tradisional seperti gotong-royong untuk membangun citra. Namun, praktik ini sering kali hanya membela kepentingan klan atau kelompok kecil. Politik dinasti menjadi manifestasi dari warisan feodal yang masih bertahan, di mana kekuasaan dianggap sebagai aset keluarga.
Simbol-simbol budaya lokal juga dimanfaatkan untuk legitimasi politik, tetapi sering kali mengkhianati nilai asli seperti keadilan dan tanggung jawab kolektif. Akibatnya, budaya lokal menjadi alat politik semata, merusak maknanya di mata masyarakat.
Reformasi Politik: Menuju Etika dan Moral yang Berkelanjutan
1. Prinsip Etika dan Moral
Etika politik harus berlandaskan keadilan, transparansi, dan tanggung jawab. Politisi perlu menempatkan pelayanan masyarakat di atas ambisi pribadi, dengan keberanian untuk menolak korupsi, nepotisme, dan politik uang. Moralitas politik juga harus menjaga kepercayaan masyarakat melalui teladan yang menginspirasi.
2. Pembatasan Jabatan dan Dinasti Politik
Pembatasan jabatan menjadi langkah strategis untuk memutus dominasi politik dinasti. Misalnya, membatasi satu posisi hanya untuk dua periode, serta melarang pasangan atau anak pejabat mencalonkan diri di wilayah yang sama. Transparansi dan pengawasan harus diperkuat, dengan pemberdayaan lembaga independen seperti KPK dan Ombudsman.
3. Edukasi dan Literasi Politik Masyarakat
Meningkatkan literasi politik adalah kunci. Pemilih harus diajarkan untuk memilih berdasarkan visi kandidat, bukan popularitas. Edukasi politik yang masif diperlukan untuk mengurangi praktik transaksional dan memperkuat kontrol masyarakat terhadap kekuasaan.
4. Reformasi Partai Politik
Partai politik perlu mereformasi sistem seleksi kandidat, memprioritaskan kompetensi, rekam jejak, dan komitmen pelayanan publik. Praktik "karier keluarga" harus dihapuskan demi menciptakan sistem yang lebih inklusif dan adil.
Kesimpulan: Membangun Politik yang Bermartabat
Politisi oportunis adalah cerminan dari sistem yang lemah dan budaya patronase. Untuk membangun demokrasi yang sehat, Indonesia harus menerapkan reformasi politik holistik, mulai dari pemimpin yang berintegritas, partai yang bertanggung jawab, hingga masyarakat yang teredukasi secara politik.Â
Dengan menanamkan nilai keadilan, transparansi, dan tanggung jawab, kita bisa memutus mata rantai politik oportunis dan menciptakan masa depan yang lebih baik untuk bangsa. Sistem politik yang bermartabat akan melahirkan generasi pemimpin yang tidak hanya bijak, tetapi juga berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H