Asmara di Bawah Hujan Pagi
[Hujan yang mengguyur Yogyakarta sejak pukul 03 membuatku terbangun. Hujan memberi ide tentang keserakahan dan haus jabatan (bumi yang terus menyerap air seberapapun banyaknya), maka lahirlah cerpen dengan judul romantis tetapi isinya bikin mulas. Hampir 2 jam cerpennya baru jadi, diselingi menguap dan kantuk, mual pada si Sonto (yang bukan loyo)]
Hujan rintik mengiringi pagi yang biasanya disambut cangkir teh hangat dan obrolan ringan di beranda rumah. Namun, bagi Sonto, mantan pejabat yang dulunya diagung-agungkan, pagi ini hanya permulaan dari langkah-langkah culas yang telah ia rancang.
Setelah turun dari jabatan, ia tidak pernah benar-benar melepaskan kekuasaannya. Bagi Sonto, kekuasaan adalah harta warisan yang tak boleh lenyap begitu saja, apalagi jatuh ke tangan orang yang menurutnya tak pantas.
Di sudut-sudut istana, bayangan Sonto terus terlihat. Kadang ia muncul di ruang rapat tanpa diundang, membawa tumpukan dokumen "penting" seolah-olah ia masih berwenang. Wajahnya yang penuh senyum basa-basi kerap membuat pejabat baru, Pramana, merasa terintimidasi. Pramana adalah boneka yang dipilih oleh Sonto sendiri, bukan karena kemampuan, melainkan karena kelemahan yang mudah dimanfaatkan.
"Jangan lupa, saya masih punya banyak teman di keamanan," ujar Sonto suatu pagi, sembari menepuk bahu Pramana. Kata-kata itu lebih terdengar seperti ancaman daripada nasihat. Pramana hanya tersenyum kecut, mengangguk pelan, dan berjanji akan mempertimbangkan "saran" dari sang mantan.
***
Sonto tidak hanya puas mengendalikan Pramana. Ia juga menyusun strategi panjang untuk memastikan cucu-cucunya kelak mewarisi kekuasaannya. Mulai dari mendekati partai politik hingga memperluas jaringan bisnis keluarga, semuanya dirancang dengan teliti. Ia mengutus anak-anaknya untuk bertemu para pengusaha dan pejabat daerah, menawarkan "kerja sama" dengan imbalan loyalitas.
Di satu sisi, media mulai mencium aroma busuk di balik aktivitas Sonto. Artikel-artikel tentang bagaimana ia masih menggunakan fasilitas negara secara sembunyi-sembunyi mulai bermunculan. Namun, Sonto tidak peduli. "Media hanya alat propaganda," katanya kepada anak sulungnya, Darma.
Namun, di balik kekuatan yang ia tunjukkan, ada ketakutan besar yang ia sembunyikan. Sonto tahu bahwa waktu tidak akan berpihak padanya. Tubuhnya yang dulu gagah kini mulai ringkih. Tekanan darahnya sering melonjak, dan ia kerap mengalami sakit kepala yang tak kunjung reda. Tapi Sonto selalu menolak pergi ke dokter. "Orang kuat tidak perlu dokter," ucapnya penuh kesombongan.
***
Pada suatu pagi yang basah oleh hujan, Sonto kembali datang ke istana tanpa pemberitahuan. Ia berjalan dengan penuh percaya diri, mengenakan jas mahal yang mengilap karena terkena cipratan hujan. Di ruang rapat, Pramana sedang berbicara dengan beberapa menteri, membahas program baru yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat.