Hujan Malam Minggu
Hujan malam minggu itu turun dengan derasnya, seolah langit menumpahkan seluruh kesedihan yang terpendam. Suara petir menggelegar, menginterupsi kesunyian malam dengan aura menegangkan. Warga desa yang biasanya pelan-pelan menghabiskan malam dengan kumpul-kumpul di pos ronda, kini terpaksa terkurung di dalam rumah masing-masing, mendengarkan hujan yang berbicara dengan nada yang samar. Namun, ada satu rumah yang berbeda.
Di balik jendela yang gelap, sosok Mansur, mantan kepala desa, tersenyum di balik kegelapan. Di luar, angin berdesir membawa kabut dingin, tetapi di dalam rumah, terik semangat menyala di matanya. Dia memandang sekeliling, memastikan timnya siap untuk beraksi. Dengan bungkusan sembako tertempel stiker yang menulis pesan misterius, "Jangan lupakan anakku di tahun 2029", mereka bersiap untuk membagikan paket-paket itu ke seluruh penjuru desa.
Satu per satu, anggota tim Mansur mulai menyerbu rumah-rumah. Dalam setiap langkah hati-hati dan tatapan waspada, mereka menyusuri lorong-lorong yang gelap, menabrakkan diri pada ketakutan yang menggerayangi dari setiap sudut. Semangat mereka tidak terpengaruh oleh hujan; sebaliknya, mereka mendapatkan kekuatan dari setiap titis air. "Ini satu-satunya cara untuk mengingatkan mereka," bisik Mansur pada dirinya sendiri, terpesona oleh keyakinan yang membara.
Setiap paket sembako sudah dipersiapkan dengan teliti. Setiap bungkusan ditandai dengan stiker yang menyentuh, seolah bungkusan itu membawa beban sejarah dan misteri. Hari itu, mereka tidak hanya membawa bahan makanan, tetapi juga mengajak kembali ingatan-ingatan kelam dari masa lalu, saat desa ini terpuruk dalam kegelapan. Sebelum dihapus dari ingatan orang-orang, Mansur ingin mereka ingat.
Keluarga Darman adalah salah satu yang tanahnya tergerus oleh kebijakan sepihaknya. Mereka yang dulunya berjuang untuk membangun desa kini hanya tinggal kenangan. Alasan itulah yang membuat keluarga Darman menjadi sasaran utama. Saat tim Mansur mengetuk pintu rumahnya, keringat dingin memercik dari dahi Darman. Serakan suara petir membuat hatinya berdebar. Namun, ia menyambut kedatangan mereka dengan ramah.
"Maaf, kami tengah membagikan sembako," ucap salah satu anggota tim. Hatinya bergetar saat menerima paket dengan stiker yang meresahkan. Darman teringat akan tahun 2029 yang selalu dibicarakan mantan kepala desa. "Mungkin ini hanya kesalahpahaman," gumamnya pelan.
Namun, ketika paket itu dibawa masuk, kabut misteri mulai menyelimuti rumah mereka. Hujan terus mengalir dengan deras, menciptakan suasana mencekam yang tak terhindarkan ketika Darman merasakan senses-nya dibangkitkan. Jiwanya terbangun dari tidur panjang, mengingat setiap kejahatan yang pernah dilakukan. Duapuluh tahun lalu, di sinilah keputusan diambil, dan di tengah pandangan tak berdaya, nama Darman mencuat dalam kesucian.
Malam itu menghantui warga desa, menjelma menjadi arwah yang berputar-putar. Hanya satu harapan untuk mengingat pelanggaran, satu peluru untuk membalas dendam dalam diam. Ketika kesadaran itu datang, segala sesuatu mulai berlarian di pikirannya. Setiap tetes hujan melambangkan setiap air mata mereka yang berjuang. "Tidak, kita harus melawan!" teriak Darman, meruntuhkan tembok ketakutannya.
Di luar, hujan belum mereda, dan tim Mansur yang mengumpulkan bungkusan sembako yang telah dikosongkan di halaman belakang rumahnya, tak menyadari bahwa malam ini adalah akhir dari kekuasaan. Kini, roh-roh yang tertekan bangkit, meraih setiap anggota tim yang memiliki masa lalu kelam. Rumah itu memberontak dalam kesunyian yang dipenuhi ketakutan; kabut hitam meliuk-liuk di antara mereka.