Aroma Amis di Kedai Pak Darto
Di balik gundukan tanah yang mengeras, di mana cahaya bulan menembus celah-celah pepohonan, tersembunyi sebuah kedai teh yang terletak di dasar galian tambang. Kebun teh yang dulunya subur kini melahirkan aroma amis yang getir, menggambarkan perselingkuhan antara pejabat setempat dan perusahaan tambang yang menguras kekayaan alam. Kedai milik Pak Darto, seorang pria tua dengan wajah berkerut dan tatapan tajam, terkenal dengan teh lokalnya, meski tak ada orang yang berani merekomendasikannya lagi.
Malam ini adalah malam Sabtu Kliwon, waktu yang kerap diadakan pesta teh di kebun ini. Pesta teh yang mirip dengan festival demokrasi lima tahunan di desa tetangga, saat segala janji manis dilontarkan dalam dosis diabetes, menyelimuti warga dengan ilusi keceriaan sebelum akhirnya kembali ke kenyataan pahit penuh pengkhianatan.
Dua sahabat, Rizal dan Nila, memutuskan untuk menjelajahi kedai angker ini, tertarik oleh rumor tentang teh legendaris yang konon dapat mengungkap rahasia gelap. Meskipun mereka adalah pencari petualangan, suasana malam ini terasa berbeda dan menyeramkan.
"Tempat ini cukup menyeramkan, ya?" ucap Nila, menatap dinding kedai yang remang-remang, merasakan ketegangan di udara.
"Ya, Rizal. Tapi aku penasaran tentang teh yang terkenal di sini," jawab Rizal, berusaha menyembunyikan rasa takutnya.
Saat mereka tiba di meja kasir, Pak Darto muncul dari kegelapan. Senyumnya terlihat lebih lebar daripada biasanya, seolah menyimpan rahasia yang dalam. "Selamat datang, anak muda. Teh apa yang ingin kalian cicipi malam ini? Kita sedang merayakan malam pesta teh," tanyanya, suara bassnya menggema di antara dinding kedai.
Rizal menelan ludah dan menggerakkan jari ke arah menu, "Pak, bisakah kami mencicipi teh lokal yang terkenal di sini?"
"Ah, kami punya Teh Galian. Rasanya sangat unik dan... menyegarkan, sungguh menyegarkan!" jawab Pak Harto, dengan tatapan tajam yang seperti menyelidiki jiwa mereka.
"Nila, ayo kita coba. Tak ada salahnya, kan?" Rizal berusaha optimis meski ingatan akan kabar burung tentang kedai ini tidak bisa lepas dari pikirannya.
Saat Pak Darto menghidangkan dua cangkir teh, aroma herbal yang semestinya menyegarkan bercampur dengan bau amis yang menyengat dari dalam tanah. Namun, ketika mereka mencicipi, sensasi aneh merayap di tubuh mereka. Rizal merasakan sesuatu yang menjalar di tenggorokannya, dan Nila merasa seolah ada bisikan halus menyusup ke telinganya.
"Ini... sangat aneh," keluh Rizal, sambil menggenggam cangkir dengan tangan gemetar.
"Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres di sini," Nila menambahkan, menilai Pak Darto yang berdiri di belakang mereka dengan senyum semakin lebar.
Mendadak, suasana di dalam kedai mulai berubah. Suara dentingan logam dan bisikan menggema, seakan mengingatkan mereka pada janji-janji manis yang tak terpenuhi. Lampu tunggal berkelap-kelip, menciptakan bayangan menyeramkan di dinding, seperti banyak wajah-wajah rentan yang tak terhitung jumlahnya.
"Kita harus pergi dari sini!" seru Rizal, panik. Namun langkahnya terhenti saat Pak Darto menahan mereka, "Belum saatnya kalian pergi, anak muda. Malam ini adalah malam di mana kebenaran terungkap lewat teh ini."
Apa maksudnya? Mereka saling menatap, lalu mengalihkan pandangan ke cangkir di depan mereka. Dalam sekejap, bayangan gelap melintas di dalam cangkir, membentuk sosok-sosok yang tampak familiar namun kosong, wajah-wajah penuh kesedihan.
Nila berteriak, "Rizal! Apa yang terjadi?"
Dengan gemetar, Rizal mengulurkan tangan ke cangkir dan melihat lebih dekat. "Ada sesuatu yang tidak benar. Ini... tidak baik."
Tiba-tiba, suara-suara lirih mulai mengalun, "Kembalikan hak kami, kembalikan!" teriakan yang penuh kesedihan menyelimuti ruangan. Pak Darto tertawa sinis, "Mereka hanyalah ingatan dari para korban yang terperangkap dalam permainan ini. Begitu banyak yang telah hilang karena keserakahan dan janji manis yang terucap."
Nila berusaha bangkit, tetapi kakinya seolah terikat. "Pak, kami tidak mau ikut permainan ini!" teriaknya penuh ketakutan.
"Aku tidak sedang bermain. Teh ini adalah medium untuk mendengarkan jeritan mereka yang terkurung oleh keserakahan," jawab Pak Darto dengan tatapan semakin menakutkan.
Tanpa berpikir panjang, Rizal menumpahkan sisa teh ke lantai, berharap bisa menghentikan semua ini. Namun, bayangan-bayangan itu justru merayap lebih dekat, kedinginan menembus kulit mereka, seolah mengundang mereka terbenam lebih dalam ke dalam kegelapan.
Akhirnya, mereka berdua sepakat untuk melarikan diri dari kedai itu. Dalam kepanikan, meskipun langkah terasa terikat, mereka berhasil membuka pintu dan melarikan diri ke malam yang kelam. Dalam kepanikan, mereka tidak berani menengok ke belakang, hanya meneruskan langkah tanpa tujuan.
Sejak malam itu, kedai Pak Darto menjadi tempat yang selalu mereka hindari. Namun, rasa penasaran tidak pernah sepenuhnya lenyap. Setiap kali mereka melewati kebun teh di dalam tanah tambang, bisikan dari masa lalu kembali mengingatkan mereka bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dan kelam di balik teh yang pernah mereka cicipi.
Rizal dan Nila terjebak dalam rasa ingin tahu yang terus mengganggu, terikat selamanya pada kenangan menakutkan di Kedai Pak Darto. Meskipun mereka berusaha melupakan, suara-suara itu terkadang kembali mengusik malam mereka, menegaskan bahwa pesta teh malam Sabtu Kliwon bukan sekadar pesta: itu adalah penahanan ingatan bagi semua yang ditinggalkan dan terabaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H