Dinamika Wewenang dan Perlawanan dalam Kontrol Sosial
Â
Dalam konteks politik modern, pemikiran Hannah Arendt dan Michel Foucault memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana wewenang dan kekuasaan digunakan untuk mengontrol, mengatrol, dan bahkan menindas rakyat. Arendt, dalam karya-karyanya, menjelaskan bagaimana totalitarianisme menciptakan kondisi di mana individu kehilangan kemampuan untuk bertindak secara bebas, terjebak dalam sistem yang dirancang untuk mempertahankan stabilitas semu.
Wewenang dan Kuasa dalam Kontrol Sosial
Arendt berpendapat bahwa kekuasaan politik seharusnya didasarkan pada partisipasi aktif rakyat, bukan hanya pada represi atau manipulasi. Kita dapat melihat gagasan ini paralel dengan pemikiran Antonin Artaud dan Herbert Marcuse, yang juga menyoroti pentingnya kebebasan individu dalam melawan struktur yang mengekang.
Marcuse menekankan bahwa kebebasan individu adalah kunci untuk melawan struktur sosial yang mengekang, terutama dalam konteks masyarakat industri yang mengabaikan potensi manusia. Dalam bukunya "One-Dimensional Man," ia mengkritik bagaimana konsumerisme dan ideologi dominan menciptakan perilaku pasif yang mempertahankan status quo, sehingga individu terjebak dalam kehidupan yang tidak memuaskan.
[sebuah catatan kecil: hampir 24 tahun lalu saat membuat tugas Filsafat Sosial sebagai pengganti ujian, saya menulis tentang kritik Marcuse soal iklan. Dan apa yang dikhawatirkannya puluhan tahun lalu kian menjadi kenyataan dewasa melalui media sosial. Manusia hampir menjadi hamba teknologi yang selama dua puluh empat jam sehari amat bergantung pada teknologi khusus android. Hal ini diperparah dengan "penindasan" dan konsumerisme yang banal dan kian sadis hampir dalam semua aspek kehidupan.].
Marcuse mendorong pengembangan kesadaran kritis dan mobilisasi kolektif sebagai cara untuk membebaskan diri dari penindasan, meyakini bahwa melalui kebebasan positif -kemampuan untuk mengejar tujuan yang bermakna- individu dapat merebut kembali kekuatan mereka dan memicu perubahan sosial yang signifikan.
Sementara itu, Foucault menekankan bahwa kekuasaan tidak hanya bersifat repressif tetapi juga produktif. Kekuasaan membentuk perilaku dan cara berpikir masyarakat yang kemudian menjadi norma-norma sosial yang kaku.
Misalnya, dalam kasus penembakan oleh aparat polisi terhadap warga sipil yang tidak bersalah, penguasa sering kali menciptakan narasi yang membenarkan tindakan mereka, sementara korban dihadapkan pada stigma negatif.
Di sini, kita juga dapat menarik pemikiran dari Erving Goffman mengenai stigma, di mana individu yang telah mengalami penindasan sering kali dipandang secara negatif oleh masyarakat, yang pada gilirannya memperkuat narasi kekuasaan dan melanggengkan ketidakadilan.
Erving Goffman, dalam karya terkenalnya "Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity," menjelaskan bagaimana individu yang mengalami penindasan atau memiliki identitas yang berbeda sering kali dipandang negatif oleh masyarakat, yang mengakibatkan mereka mengalami diskriminasi dan pengecualian sosial.
Stigma ini berfungsi untuk memperkuat narasi kekuasaan yang sudah ada, di mana kelompok dominan menegaskan superioritas mereka dengan mendiskreditkan individu yang terpinggirkan, sehingga melanggengkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan.
Goffman menyoroti bahwa stigma tidak hanya mempengaruhi cara individu dipersepsikan, tetapi juga bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri, yang dapat menghambat upaya mereka untuk meraih kebebasan dan mengubah keadaan sosial mereka. Dengan demikian, pemahaman tentang stigma ini menjadi penting dalam konteks perjuangan melawan penindasan dan diskriminasi.