Sekutu dalam Kegelapan Politik yang Tak Beretika
Â
Di suatu sudut waktu dan ruang, di antara berbagai peperangan politik kuno dan modern, dua gossip legendaris dari sejarah, Marcus Junius Brutus dan Ken Arok, merasa sangat bersinergi. Mereka adalah para master manipulasi dalam hal mengubah kelemahan lawan menjadi kekuatan bagi diri mereka sendiri. Dalam momen canda tawa, mereka berjumpa di sebuah kafe dengan nuansa politik yang kental.
Â
Brutus:Â (Menyeduh kopi, Brutus mulai memperlihatkan senyuman misterius) "Ken, rasanya sudah lama kita tidak berbagi ilmu, ya? Sepertinya saya semakin mahir dalam politik; mana tahu, saya bisa mengajarkan Anda cara membunuh musuh tanpa mengangkat pedang."
Ken Arok: (Sambil menggigit sepotong roti), "Haha! Brutus, kemampuanmu dalam menghilangkan lawan seperti Julius Caesar sangat membantu saya. Kamu juga tahu, kan bagaimana saya menghabisi Tunggul Ametung dan kemudian menikahi Ken Dedes? Ini selalu tentang kekuasaan!"
Di tengah percakapan mereka, cahaya lampu kafe berkelip lebih terang, seakan menggambarkan situasi politik saat ini di mana serangan karakter dan pengkhianatan di antara rekan partai menjadi hal biasa. Brutus dan Ken Arok menyadari banyak politisi modern sering kali berperan ganda. Bukan hanya lawan, mereka malah mengkhianati orang-orang yang telah membantu mereka mencapai puncak, mirip dengan kisah hidup mereka sendiri.
Brutus: "Eh, Ken, perhatikan saja. Banyak politisi sekarang lebih mirip dengan saya daripada yang mereka pikirkan. Ketika terjebak dalam pengkhianatan, mereka akan mengeluarkan senyum menjijikkan mereka sebelum menikam dari belakang."
Ken Arok: (Tertawa sambil bercanda), "Ah, betul! Saya kadang berpikir, apakah mereka mengandalkan modifikasi kita? Guidebook-nya bisa berjudul 'Cara Menikam Teman Sendiri dengan Elegan'! Apalagi, lihat saja mereka yang bersembunyi di bawah payung partai, berkonspirasi mengubah semua janji mereka."
Â
Pembelajaran Sejarah
Sebagai dua sahabat yang telah melewati berbagai intrik dan pengkhianatan, mereka pun mulai saling mengajarkan cara-cara yang lebih 'efisien' untuk mengelola kuasa.
Brutus: "Pertama-tama, ingat, Ken. Ketahui siapa yang mungkin akan menusukmu lebih dulu. Ingat pepatah: 'Bersahabatlah dengan sedikit, dan duduklah bersama banyaknya!' Kualitatif kan, istilah itu?"
Ken Arok: "Ya, seperti ketika saya menjadikan Tunggul Ametung sebagai batu pijakan untuk mendapatkan Ken Dedes. Rasa-rasanya, pemilih yang ditemui juga mirip! Mereka yang membantu kita, bisa jadi korban terbesar!"
Kearifan Rakyat
Di tengah perbincangan mereka, kedua lelaki ini pun melirik berita terkini di sebuah layar televisi. Berbagai politisi duduk berjejer, berdebat tentang kepentingan, sambil menjanjikan hal-hal yang sangat dramatis, yang sebenarnya tak ada satupun dari mereka yang serius menindaklanjuti.
Brutus: "Lihat mereka, Ken! Mengaku demi kepentingan rakyat, tetapi hati-hati saat menyentuh satu sama lain. Sayangnya, malah mereka berjuang demi kursi empuk, sama seperti kita dulu!"
Ken Arok: (Tersenyum sinis), "Kamu bener, Brutus! Mungkin kita harus mengajak mereka ke sebuah reuni sejarah. Datanglah dengan semangat pengorbanan, tapi hanya untuk memupuk ego!"
Mereka berdua pun menghabiskan sisa waktu di kafe dengan saling menciptakan petunjuk untuk mengatasinya: "Kalau kalian tidak bisa mengelola kekuasaan tanpa menyakiti yang lain, setidaknya lakukanlah dalam suasana yang lebih menyenangkan, seperti duduk di kafe sambil ngopi!"
Kesadaran yang Muncul di Antara Kekuatan
Ketika pertemuan itu berakhir, Brutus dan Ken Arok paham bahwa, walau berasal dari zaman yang berbeda, musuh mereka tetap sama: rasa haus kekuasaan yang menggerogoti nilai etika.
Brutus: "Kita mungkin adalah pahlawan dari sejarah dalam konteks kita, tapi mari berharap generasi baru ini punya kesadaran lebih tinggi. Jika tidak, kapan lagi mereka akan bergandeng tangan dengan 'Kotak Kosong' dalam pemilihan, ketimbang permainan kita yang kejam?"
Ken Arok: "Ah, Brutus, semoga mereka tidak perlu menunggu ulang tahun kita yang berikutnya untuk memahami artinya. Mari kita berikan mereka nasihat yang jelas!"
Brutus: (dengan senyum bijak), "Kepada generasi muda, ingatlah ini: kekuasaan tidak bisa dimanfaatkan hanya untuk kepentingan pribadi. Etika harus selalu menjadi nadi dalam setiap keputusan. Jika kalian mengutamakan ambisi di atas integritas, maka tidak ada bedanya antara kalian dengan kami yang pernah terjebak dalam kegelapan."
Ken Arok: (dengan nada serius), "Hindari jebakan yang sama! Setiap tindakan kalian akan membentuk wajah politik masa depan. Jangan biarkan ambisi membutakan mata dan hati. Silakan berjuang, tetapi lakukanlah dengan penuh rasa hormat terhadap semua pihak. Ingat, kepentingan rakyat harus selalu di atas kepentingan diri!"
Keduanya saling menatap dengan penuh harapan, meneruskan nasihat bijak mereka ke generasi yang semakin menjauh dari nilai-nilai inti. Dengan tawa pahit, mereka berharap agar para politisi modern tidak mewarisi cara-cara mereka yang kelam, tetapi sebaliknya, menciptakan cara baru yang lebih baik, melandasi etika dan kepentingan rakyat sebagai dasar pengambilan keputusan.
Dan saat mereka melangkah keluar dari kafe, jiwa pahlawan mereka tetap hidup. Mereka tahu bahwa suara rakyat yang cerdas, yang berani menolak pengkhianatan dalam politik, akan selalu diingat dan dihargai, seperti kemuliaan yang mengiringi nama Brutus dan Ken Arok dalam lembaran sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H