Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyimak Usulan Wapres Gibran: Pentingnya Kebijakan Pendidikan yang Berbasis Riset dan Keseimbangan

26 November 2024   12:00 Diperbarui: 26 November 2024   12:08 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi hasil olahan GemAIBot, dokpri)

Menyimak Usulan Wapres Gibran: Pentingnya Kebijakan Pendidikan yang Berbasis Riset dan Keseimbangan

Usulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk menghapus sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) telah memicu berbagai tanggapan, baik dari kalangan masyarakat maupun pengamat pendidikan. Di satu sisi, niat untuk meningkatkan kualitas pendidikan sangatlah baik, namun di sisi lain, keputusan semacam ini perlu ditimbang dengan hati-hati agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi sistem pendidikan di Indonesia.

Peninjauan Sistem Zonasi: Konteks dan Implikasi

Salah satu keuntungan paling signifikan dari sistem zonasi adalah pemerataan akses pendidikan. Dengan menerapkan zonasi, sekolah-sekolah di daerah yang kurang berkembang diharapkan dapat lebih diakses oleh siswa lokal, sehingga mengurangi jarak antara wilayah perkotaan dan pedesaan dalam hal kesempatan pendidikan.

Selain itu, siswa yang bersekolah di dekat rumah akan lebih mudah mengikuti kegiatan belajar, yang berkontribusi pada tingkat kehadiran yang lebih baik, dan mengurangi biaya transportasi yang sering menjadi beban bagi orang tua.

Namun, sistem zonasi juga menghadapi kritikan dari berbagai pihak. Salah satu kekurangan utama adalah potensi untuk mengurangi pilihan sekolah bagi siswa. Siswa mungkin terpaksa bersekolah di lembaga pendidikan yang kualitasnya tidak memenuhi harapan atau tidak sesuai dengan minat dan bakat mereka.

Dalam konteks ini, kurangnya persaingan antar sekolah dapat mengakibatkan stagnasi dalam peningkatan kualitas pendidikan, karena tidak ada dorongan bagi sekolah untuk terus berinovasi dan memperbaiki program mereka.

Dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian sistem zonasi, langkah selanjutnya adalah melakukan evaluasi yang mendalam sebelum memutuskan apakah sistem ini perlu dihapus atau dipertahankan.

Ini termasuk melakukan survei dan penelitian tentang dampak penerapan zonasi serta mendengarkan masukan dari orang tua, siswa, dan pelaku pendidikan. Kajian yang teliti akan memberikan gambaran yang lebih mendalam mengenai efektivitas sistem zonasi, serta faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan di berbagai daerah.

Sebelum membuat keputusan akhir, penting untuk memastikan bahwa setiap rekomendasi berlandaskan pada bukti dan riset yang kuat, sehingga kebijakan yang diambil tidak hanya reaktif, tetapi juga responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Penghapusan atau pemeliharaan sistem zonasi harus menjadi topik diskusi yang matang, melibatkan semua pemangku kepentingan, untuk mencapai solusi yang paling adil dan efektif bagi semua anak di Indonesia.

Pendidikan Digital: Tantangan dan Kesiapan

Dalam sambutannya, Wapres Gibran juga menyoroti pentingnya pengajaran kodifikasi, programming, dan digital marketing di sekolah-sekolah. Walaupun hal ini mengindikasikan kesadaran akan kebutuhan untuk membekali generasi muda dengan keterampilan yang relevan, kita perlu mempertanyakan sejauh mana kesiapan infrastruktur pendidikan, kurikulum, dan pelatihan guru untuk mendukung pengajaran materi-materi ini. Tanpa dasar yang kuat, upaya ini berpotensi menjadi lebih banyak bencana daripada berkah.

Meskipun mempelajari keterampilan digital seperti coding dan digital marketing mungkin terdengar seperti langkah positif, kita harus kritis terhadap urgensi dan kebutuhan materi tersebut dalam konteks pendidikan nasional.

Pertama-tama, perlu dipertimbangkan sejauh mana siswa akan menggunakan keterampilan ini di tingkat lokal, terlebih di daerah-daerah yang masih kekurangan akses internet dan teknologi dasar. Apakah siswa di daerah terpencil akan mendapatkan manfaat yang sama dibandingkan siswa di kota-kota besar?

Tanpa memperhatikan kesenjangan substansial seperti ini, pengajaran materi yang bersifat "trendi" dapat menjadi tidak relevan dan hanya memperburuk ketidakmerataan pendidikan.

Selain itu, kita juga harus mengevaluasi apakah pengenalan materi ajar baru ini efektif terintegrasi dalam kurikulum yang sudah ada, yang seringkali sudah padat dan mungkin tidak memberikan ruang bagi pendekatan baru.

Apakah pengajaran coding dan digital marketing hanya akan menjadi pelajaran tambahan yang terisolasi, ataukah akan ada integrasi holistik yang berkelanjutan dengan mata pelajaran lain? Tanpa strategi yang jelas dan dukungan yang cukup dalam hal pelatihan guru dan bahan ajar yang sesuai, upaya tersebut justru bisa dianggap sebagai pemaksaan dan berisiko kehilangan esensi pendidikan itu sendiri, yang seharusnya tetap berfokus pada pengembangan karakter dan pemahaman dasar yang kuat.

(ilustrasi hasil olahan GemAIBot, dokpri)
(ilustrasi hasil olahan GemAIBot, dokpri)

Pendidikan Karakter: Fundasi untuk Masa Depan

Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi saat ini memerlukan generasi yang tidak hanya pintar secara akademis, tetapi juga berkarakter dan bermoral. Inisiatif pengajaran karakter sejak usia dini harus menjadi prioritas. Sebelum membicarakan hal-hal yang bersifat teknis dan modern, kita perlu memastikan bahwa anak-anak kita tumbuh menjadi individu yang bertanggung jawab dan dapat menghormati norma-norma sosial.

Sangat penting untuk menekankan bahwa pendidikan karakter dan budi pekerti seharusnya menjadi perhatian utama, terutama dalam konteks perkembangan anak di era digital ini. Generasi muda yang cerdas dalam bidang teknologi tanpa diimbangi dengan nilai-nilai moral dan etika yang kuat berpotensi menciptakan individu yang hanya mementingkan keuntungan pribadi, meskipun dengan ilmu pengetahuan yang tinggi.

Jika hanya fokus pada keterampilan seperti coding dan digital marketing tanpa pembentukan karakter, kita berisiko menghasilkan individu-individu yang "aji mumpung," yang dapat memanipulasi ilmu pengetahuan mereka untuk merugikan orang lain atau bahkan masyarakat secara luas. Hal ini tentu bukanlah tujuan pendidikan yang sejati.

Selain itu, pendidikan karakter dapat menjadi penyeimbang dalam penggunaan teknologi yang semakin canggih. Dengan mengedepankan nilai-nilai seperti integritas, empati, dan tanggung jawab, kita berharap generasi muda dapat memanfaatkan keterampilan digital mereka untuk tujuan yang lebih positif dan konstruktif.

Ini berarti bahwa sebelum mengajarkan keterampilan praktis, sekolah harus lebih dulu menanamkan kesadaran akan dampak sosial dari teknologi. Dalam hal ini, kombinasi antara pendidikan teknis dan pendidikan karakter sangat penting untuk membentuk individu yang tidak hanya terampil tetapi juga memiliki komitmen moral untuk menggunakan keterampilan mereka demi kebaikan masyarakat.

Usulan dari DPR: Pentingnya Kebijakan yang Terkoordinasi

Menanggapi instruksi Wapres, sejumlah anggota DPR juga menyuarakan aspirasi agar sistem zonasi dihapus secara permanen. Mereka berargumen bahwa langkah ini diperlukan untuk memberikan kesempatan lebih luas kepada sekolah-sekolah swasta dan daerah tertentu untuk menarik siswa baru.

Namun, pembahasan terkait kebijakan ini perlu melibatkan banyak pihak, termasuk ahli pendidikan, pemerintah daerah, dan masyarakat luas, agar apapun keputusan yang dibuat dapat terintegrasi dengan baik ke dalam sistem pendidikan nasional.

Seharusnya, wakil rakyat harus berdiri di pihak rakyat dan melakukan kajian yang mendalam mengenai sistem zonasi ini. Pro dan kontra terhadap kebijakan ini perlu diteliti secara objektif, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap kualitas pendidikan dan aksesibilitas bagi semua siswa.

Menghapus atau mempertahankan sistem zonasi bukanlah satu-satunya fokus; lebih penting lagi adalah mencari alternatif yang lebih konstruktif yang dapat merespons kebutuhan nyata di lapangan. Apakah kita sudah benar-benar memahami tantangan yang dihadapi oleh sekolah-sekolah di daerah marginal, atau mungkin ada solusi lain, seperti penguatan sarana dan prasarana pendidikan yang lebih mendesak untuk dilakukan?

Selain itu, dalam setiap kebijakan pendidikan, yang perlu dijadikan perhatian utama adalah keberlanjutan dan dampak jangka panjang bagi anak-anak kita. Seharusnya, setiap keputusan diambil dengan melibatkan opini dari orang tua, guru, dan siswa agar kebijakan benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat.

Dengan pendekatan yang inklusif, kita tidak hanya akan mendapatkan kebijakan yang lebih tepat sasaran, tetapi juga membangun kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat. Menghadapi polemik ini, mari kita fokus pada inovasi dan upaya kolaboratif yang dapat menghasilkan sistem pendidikan yang inklusif, adil, dan berkualitas bagi semua anak bangsa.

Kebijakan Pendidikan Harus Berbasis Riset dan Konsensus

Menyikapi serangkaian usulan dan pandangan yang berkembang seputar sistem zonasi dan materi ajar digital, kita harus tetap berpegang pada prinsip bahwa kebijakan pendidikan haruslah berbasis onomika (economics), etika, dan sosio-kultural.

Kebijakan yang diputuskan harus melibatkan banyak pemangku kepentingan dan diteliti dengan cermat agar semua keputusan yang diambil dapat memberi manfaat nyata bagi seluruh lapisan masyarakat. Mari kita wujudkan pendidikan berkualitas yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga tanggap terhadap nilai-nilai yang mempersatukan bangsa.

Untuk mencapai hal ini, sangat penting agar setiap kebijakan pendidikan yang diusulkan tidak hanya sebatas instruksi yang dapat menimbulkan persoalan baru. Sebaiknya, kita perlu merancang program aksi konkret yang mengedepankan hasil riset dan pemahaman mendalam tentang tantangan yang ada di lapangan.

Inisiatif seperti forum dialog antara pemangku kepentingan, penelitian mendalam mengenai dampak kebijakan yang ada, serta implementasi proyek percontohan bisa menjadi langkah solutif untuk menemukan jalan keluar yang efektif.

Dengan demikian, kita tidak hanya menghindari gimmick yang tampak "smart," tetapi benar-benar bergerak menuju solusi yang berkelanjutan dan bermakna bagi generasi penerus. Pendidikan bukan sekadar problem solving, tetapi investasi untuk masa depan bangsa yang lebih baik.

Beberapa Bahan Bacaan:

https://news.detik.com/berita/d-7650894/instruksi-gibran-untuk-hapus-ppdb-zonasi

https://news.detik.com/berita/d-7649969/wapres-gibran-minta-mendikdasmen-hapus-ppdb-sistem-zonasi

https://www.kompas.com/edu/read/2024/11/11/141907171/wapres-gibran-minta-kebijakan-ppdb-zonasi-dikaji-ulang

https://www.detik.com/jabar/berita/d-7648450/komisi-x-dpr-ri-dorong-sistem-zonasi-dikaji-ulang

https://www.antaranews.com/berita/4483849/wapres-minta-sistem-zonasi-sekolah-dihilangkan

https://www.tempo.co/politik/gibran-kembali-singgung-soal-permintaannya-agar-mendikdasmen-hapus-sistem-zonasi-ppdb-1171533

https://www.kompas.com/edu/read/2024/11/12/151514171/wapres-gibran-ppdb-zonasi-belum-bisa-diterapkan-di-semua-daerah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun