Cerita Tuak dan Geng di Tanah Merah
Di sebuah kedai tuak sederhana di tepi Pantai Selatan Gunung Inerie, seorang pemuda bernama Fenga duduk melingkar bersama teman-temannya. Mereka memesan tuak untuk menemani malam yang semakin larut. Dengan nada penuh semangat, Fenga mulai bercerita tentang kehidupannya sebagai Kepala Suku Preman di Blok M Jakarta.
"Kalian tahu, di Jakarta itu, ada banyak geng. Ada Geng Key dari Ambon, geng legendaris Hercules yang terkenal, dan jangan lupakan Geng Coklat dan Geng Hijau," katanya, sambil mengangkat gelas tuaknya. "Geng-geng ini seperti warna pelangi, satu sama lain saling bersaing, tapi tetap menciptakan suasana yang seru."
Teman-temannya tertawa, terhibur oleh narasi Fenga yang dramatis. "Tapi, kalian tahu, dalam setiap geng itu, ada rahasia. Setiap kali kita mau tanding, pasti ada yang berbisik, 'Awas, jangan sampai rahasia kita sampai ke telinga orang lain!' Nah, aku ini, udah banyak tahu rahasia!"
Semakin banyak tuak masuk ke dalam tenggorokannya, semakin berani Fenga mengungkapkan informasi tentang geng-geng tersebut. "Geng Coklat itu, misalnya, mereka jualan cokelat, tapi bukan sembarangan. Cokelat mereka mengandung 'rasa' berbeda, dan itu bikin orang ketagihan! Sedangkan Geng Hijau, mereka bertani, tapi sayangnya, hasil panennya sering kali 'hilang' saat malam tiba."
Teman-teman Fenga tertawa terbahak-bahak. Namun, di sudut kedai, seorang pria yang tampak biasa saja dan berpakaian seadanya, mendengarkan dengan penuh perhatian. Tanpa disadari Fenga, pria itu adalah seorang intel yang sudah bersembunyi di kampung itu selama tiga minggu untuk menangkapnya.
"Saat aku hadir di Blok M," Fenga melanjutkan, "aku belajar, menjadi preman itu seperti menjadi CEO di perusahaan, harus tepat waktu, harus bikin keputusan yang cepat, dan jangan sampai ditangkap! Begitu satu kasus muncul, langsung kabur! Nah, aku pun memutuskan pulang ke kampung. Tapi ingat, rahasia antar geng itu mesti aman!"
Tiba-tiba, suasana kedai itu berubah. Dalam sekejap, intel itu memperlihatkan identitasnya. "Fenga, kamu ditangkap!" serunya, dengan dibantu oleh beberapa warga yang telah menunggu.
Fenga terkejut, "Wah! Ini bukan polisi beneran, ini komedi! Kalo mau tangkap, ambil aja pas aku mabuk, biar spektakuler!"
Kedai menjadi hening seketika. Fenga tahu, dia yang sudah terlanjur bercanda, sekarang harus menghadapi kenyataan pahit. "Tapi tunggu dulu! Kenapa sih aku yang ditangkap? Bukankah semua orang di sini juga membicarakan hal yang sama?"
Dengan nada sarkastik, intel itu menjawab, "Oh, Fenga, di dunia ini, ada dua jenis orang. Satu tetap bermanifestasi di kegelapan dan tak pernah terlihat, sementara yang lain terlalu berani untuk bicara. Sayangnya, yang terakhir sering kali harus membayar harga yang mahal. Jadi, jeruk mau makan jeruk, kan?"
Suara-suara tawa di kedai itu perlahan menghilang. Semua orang sadar bahwa mereka juga bagian dari permainan ini. Mereka takut jika ada Fenga berikutnya yang dengan berani mengungkapkan kebenaran yang tidak nyaman.
Mereka pun menjadi saksi bahwa terkadang, kegilaan dan mabuk-mabukan hanyalah cara untuk menutupi rasa takut yang lebih besar. Dalam kegelapan kedai itu, mereka mulai berbagi kisah yang lebih dalam, bukan hanya tentang geng dan preman, tapi tentang bagaimana hidup dalam satu komunitas sering kali berarti saling melindungi, bukan hanya dari lawan, tetapi juga dari diri sendiri.
Dan di sinilah, di tengah tawa dan kesedihan, semua orang belajar, bahwa kadang-kadang, tertawa adalah cara terbaik untuk mengungkapkan ketidakadilan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H