Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Humorisasi untuk Kritik: Menyentuh Hati Melalui Tawa

20 November 2024   13:14 Diperbarui: 20 November 2024   13:16 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Humorisasi untuk Kritik: Menyentuh Hati Melalui Tawa

Dalam tatanan kehidupan sosial yang semakin kompleks, seni kritikan bukan hanya sebuah kebutuhan, melainkan juga seni yang harus dikuasai agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik. Menariknya, salah satu cara paling efektif untuk menyampaikan kritik adalah melalui humor. Seperti, "menampar pipi dengan mengelus," (atau dalam kata Seorang Guru Agung: "Barangsiapa menampar pipi kananmu, berikan juga dia pipi kirimu", tentang pesan tanpa kekerasan) membawa pesan yang lebih dalam dan menyentuh.

Cara-cara seperti ini memiliki akar yang kuat dalam psikologi dan sosiologi masyarakat. Secara psikologis, tawa memiliki kekuatan luar biasa dalam meredakan ketegangan. Ketika kita menggunakan humor, kita membuka ruang komunikasi yang lebih hangat dan menyeluruh. Contohnya, dalam program komedi Indonesia seperti "Indonesia Lawak Klub," yang digawangi oleh Denny Chandra, para pengisi acara kerap menyentil kebijakan pemerintah dengan guyonan yang lucu namun mengena. Misalnya, mereka mungkin mengolok-olok tentang harga bahan pokok yang melonjak dengan menggambarkan situasi absurd di pasar yang membuat penonton tertawa sekaligus merenung. Saat tertawa, penonton menjadi lebih terbuka untuk merenungkan kritik yang disampaikan.

Seringkali ketika seseorang tertawa atas sesuatu kritikan yang lucu, dia akan segera sadar bahwa itu sedang menampar dirinya. Pernah sekali waktu di tahun 1994, ketika saya masih di Novisiat (tempat pembinaan calon religius sebuah tarekat) saya dan seorang teman melakukan lawakan yang berkaitan hidup harian kami. Rupanya magister kami sempat tersinggung setelah sebelumnya tertawa terpingkal-pingkal, padahal yang disasar dari ejekan itu adalah dirinya. Sejak temanku itu keluar, saya kehilangan partner untuk membuat lawak secara spontan.

(foto olahan GemAIBot, dokpri)
(foto olahan GemAIBot, dokpri)

Lebih dari itu, humor mampu menjangkau perasaan yang lebih dalam. Melalui lelucon atau satire, pesan-pesan kritis dapat menggores hati dan pikiran tanpa terdengar agresif. Dalam acara seperti "Stand Up Comedy Indonesia," komedian seperti Raditya Dika atau Pandji Pragiwaksono sering kali menggunakan pengalaman pribadi dan fenomena sosial yang terjadi di masyarakat untuk menyampaikan kritik. Ketika mereka menggambarkan absurdnya birokrasi dengan cara lucu, mereka tidak hanya menciptakan tawa, tetapi juga mendorong penonton untuk berpikir tentang permasalahan yang ada.

Atau Tukul Arwana dengan acaranya "Empat Mata" lalu berganti menjadi "Bukan Empat Mata" seringkali melakukan kritik sosial dengan sasaran dirinya. Orang mungkin tertawa terbahak-bahak, tetapi sesungguhnya mereka sedang "dikuliti" oleh Tukul tanpa merasa sakit di kulitnya.

Di luar negeri, tokoh humor dunia seperti John Oliver dalam program "Last Week Tonight" juga memberikan contoh yang sangat baik. Ia sering kali mengemas kritik kepada kebijakan pemerintah AS dengan cara yang sangat menghibur, menyajikan informasi yang faktual namun dibalut dengan humor yang cerdas. Misalnya, dia pernah mengkhususkan sebuah episode untuk membahas anehnya sistem pemungutan suara di AS dengan analisis lucu yang membuat penonton menyadari pentingnya isu tersebut tanpa merasa diserang.

Dalam konteks sosiologis, masyarakat sering kali terikat pada norma-norma sosial yang membuat kritik frontal terasa tidak nyaman. Dalam budaya kita, kritik yang disampaikan dengan cara yang terlalu langsung bisa dianggap sebagai serangan. Di sinilah humor berperan; ia menjadi simbol. Lewat lelucon, sindiran, atau parodi, kita tidak hanya mengungkapkan ketidakpuasan tetapi juga melakukannya dengan cara yang dapat diterima oleh masyarakat.

Contohnya, dalam acara berita komedi "Kompas Petang" yang dipandu oleh komedian, kritik terhadap isu-isu sosial seperti pendidikan atau kesehatan sering kali disampaikan dengan cara yang jenaka. Misalnya, pengisi acara dapat mengolok-olok kebijakan pendidikan yang mengutamakan ujian, dengan menggambarkan seolah-olah siswa sedang berlatih untuk ujian seperti atlet berlatih untuk kompetisi. Metafora humor ini membuat kritik mereka mampu menjangkau audiens dengan lebih baik. Atau di TV One ada "Bang One" sebuah kartun yang lucu namun menurut saya sarat dengan pesan yang nyelekit dan pedas.

(cara kritik amburadulnya sistem pendidikan kita bisa begini saja, olahan GemAIBot, dokpri)
(cara kritik amburadulnya sistem pendidikan kita bisa begini saja, olahan GemAIBot, dokpri)

Lebih jauh lagi, kita paham bahwa tidak semua orang merespons kritik dengan baik, apalagi jika disampaikan secara frontal. Ada kebutuhan untuk melibatkan diri secara emosional dengan pendengar atau pembaca kita. Humor yang tepat dapat mengubah pandangan kita terhadap isu-isu penting menjadi lebih mudah dicerna. Ketika pigura negatif dari kritik frontal dihilangkan, kita bisa berbicara dengan jujur dan terbuka, menciptakan kesempatan untuk mendiskusikan hal-hal penting secara konstruktif.

Namun, penting untuk diingat bahwa humor harus dilakukan dengan hati-hati. Humor yang tidak sensitif atau merendahkan dapat menyebabkan reaksi negatif. Oleh karena itu, cerdas dalam memilih kata dan konteks adalah kunci utama. Ketika humor digunakan dengan tepat, efeknya bisa sangat mendalam, seperti menampar pipi dengan lembut tetapi tetap memberikan rasa sakit yang membekas.

Dalam kesimpulan, menjadikan humor sebagai alat untuk mengkritisi kebijakan dan isu-isu sosial adalah pendekatan yang sangat efektif. Tawa memiliki kekuatan untuk membawa perubahan, memperkaya dialog, dan memudahkan pemahaman tentang isu-isu kompleks dalam masyarakat. Dengan membingkai kritik dalam kemasan humor, kita tidak hanya menjadikan pesan lebih menarik tetapi juga lebih mudah dicerna. Dalam dunia yang sering kali dipenuhi dengan ketegangan dan konflik, mengelus sambil menampar, atau menggunakan humor sebagai alat kritik, dapat membuka jalan menuju pemahaman dan diskusi yang lebih konstruktif. Humor bukan hanya sebuah cara untuk menghibur; dalam konteks ini, ia adalah jembatan menuju perubahan sosial yang lebih baik. (nantikan cerita jenaka berikut: Arab Saudi Bawa Minyak, Indonesia Bawa Gol, cerita lucu dibalik "kemenangan" Arab yang tertunda setelah Indonesia membeli "dua galon minyak.")

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun