Di Balik Angka
Â
Sinar rembulan nampak temaram. Sepi dan hening. Leko duduk di sudut kamarnya, dikelilingi oleh tumpukan buku dan lembaran-lembaran catatan. Suara detak jam di dinding mengisi hening malam, menandai waktu yang hampir habis. Dalam diam, pikiran Leko melayang ke kegalauan yang terus menghantui: Ujian Nasional semakin dekat. Keberadaan ujian itu seperti bayangan gelap, mengancam masa depannya, sementara orang tua dan guru berusaha memelihara harapan di balik angka-angka yang mengintai. Bisakah angka-angka ini mencerminkan perjalanan hidupnya? Atau justru menjerumuskannya ke dalam ketakutan yang lebih dalam?
***
Pagi-pagi ada suara gaduh dari rumah Leko. Leko, siswa kelas XII, tengah bersiap-siap menghadapi Ujian Nasional yang hanya tinggal beberapa minggu lagi. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca, dan tangan kanannya terus memegang pensil dengan gemetar. Keterpurukan merasuk dalam pikirannya.
"Leko, sudah berapa soal yang kamu kerjakan?" tanya sang Ibu dengan nada lembut, berusaha mengajak bicara sambil menyuguhkan secangkir teh hangat.
"Banyak, Bu. Tapi aku merasa tidak siap. Bagaimana kalau aku gagal?" Ucap Leko, suara penuh kepanikan.
Sang Ibu menghela napas panjang. Ia tahu tekanan yang dihadapi anaknya bukan hanya sekadar ujian biasa. Berita di media sosial dan pembicaraan di kalangan orang tua, semuanya membahas betapa pentingnya Ujian Nasional untuk masa depan anak-anak mereka. Sekali lagi, terbentang di hadapan Leko adalah harapan dan rasa takut akan kegagalan.
Di sisi lain, di meja makan, sang Ayah tampak gelisah. Ia mengerutkan dahi, membaca buku referensi pelajaran yang entah sudah berapa kali dibacanya. "Leko, kita harus belajar lebih giat. Ujian Nasional ini menentukan, lho. Jangan sampai kamu ketinggalan!" serunya dengan semangat yang justru membuat Leko semakin tertekan.
"Kalau ada ujian, perjalanan hidupku akan lancar dan mulus? Apakah semua bisa berjalan baik jika aku lulus?" Leko mengingatkan kembali pertanyaan yang mengganggu benaknya.
Ia teringat kembali saat seorang guru menjelaskan tentang Ujian Nasional, "Ujian ini adalah tolak ukur sejauh mana kalian belajar selama ini. Jika kalian lulus, itu berarti kalian siap melanjutkan ke jenjang berikutnya." Namun, penjelasan itu kerap kali dirasa Leko lebih sebagai ancaman daripada dorongan.
Hari-hari Leko dipenuhi dengan belajar dan latihan soal. Tiap malam, dia terjaga hingga larut menghapal rumus, menjawab soal-soal dari buku-buku referensi, dan mendengarkan video pembelajaran di internet. Adakalanya, suara detak jam di atas meja menjadi satu-satunya teman malam yang sunyi. Leko merindukan masa-masa ketika belajar terasa menyenangkan, bukan sebagai beban pikiran yang menekan jiwanya.
Suatu sore, saat Leko keluar rumah, ia melihat beberapa teman sebayanya sedang bermain di lapangan. Dengan ragu, ia mendekat, namun secepat itu rasa bersalah menyergapnya. "Aku tidak bisa bermain, aku harus belajar," gumamnya.
"Leko, ayo ikut bermain sebentar! Sekali-sekali saja. Belajar saja semua hari bikin otakmu stres!" ajak Mersi, temannya yang selalu ceria.
Namun, ajakan itu hanya mengundang lebih banyak tekanan di dalam hati Leko. "Tapi aku tidak bisa. Ujian Nasional sudah dekat, dan aku harus siap...," jawab Leko, kembali berlari ke dalam rumah.
Di dalam rumah, ia menemukan kedua orang tuanya sedang memperbincangkan masa depan. "Kalau Leko gagal Ujian Nasional ini, apa yang akan terjadi? Sekolah mana yang mau menerima anak dengan nilai rendah?" sang Ayah bercerita lirih, tanpa menyadari bahwa Leko memperhatikan dari balik pintu.
"Iya, saya khawatir. Ujian ini seperti sebuah pemeriksaan hidup, dan Leko harus lulus!" balas sang Ibu, matanya berkilau karena mendukung harapan tersebut.
Leko merasa hidupnya tidak sepenuhnya miliknya lagi. Semua yang terjadi adalah tentang 'ujian' dan 'angka', tanpa ada tempat untuk menikmati proses belajar. Dalam benaknya, lulus dari Ujian Nasional tidak hanya soal kelulusan, tetapi juga membawa beban harapan untuk bisa melanjutkan pendidikan yang lebih baik. Bukankah semua orang bilang, angka adalah segalanya?
Malam ini, ketika semua orang terlelap, Leko tetap terjaga. Ia membuka jendela kamarnya, menikmati angin malam yang berhembus lembut. Sesuatu mulai terbesit di pikirannya. "Apakah Ujian Nasional ini adalah ukuran ku? Apakah semua yang telah kuperjuangkan hanya akan dinilai dengan sebuah angka?"
Dengan keras, Leko merobohkan tumpukan bukunya ke lantai. "Hidup bukan hanya tentang ujian dan angka!" teriaknya dalam hati. Dia butuh ruang untuk bisa bernapas, untuk menemukan cara belajar yang menyenangkan, yang tidak terburuk oleh ketakutan akan ujian. Semangat belajar bukan untuk mengejar angka, tetapi untuk menuntun dirinya menjadi pribadi yang lebih baik.
Dalam semangat tersebut, Leko mulai merubah pendekatannya. Ia mengatakan kepada orang tuanya, "Bu, Pak, mungkin kita bisa belajar bareng? Saya tidak ingin merasa stres terus menerus." Dengan kerendahan hati dan keinginan untuk berbagi, orang tuanya menerima ide tersebut. Mereka mulai membuat waktu untuk belajar bersama, bukan hanya fokus pada soal-soal ujian, tetapi juga berbagi pengalaman dan kebahagiaan saat belajar.
Hari-hari pilihan kembali berputar. Ujian Nasional pun datang. Meskipun cemas, Leko telah siap secara mental. Ia melangkah menuju ruang ujian dengan penuh harapan, menyadari bahwa hidup tidak selalu tentang angka, tetapi tentang bagaimana cara kita belajar dari pengalaman.
Ketika siang itu berakhir dan ia menerima hasil ujian, Leko tersenyum. Baik hasilnya memuaskan ataupun tidak, ia tahu bahwa perjalanan hidupnya adalah sesuatu yang lebih berarti daripada sekadar angka.
"Ujian Nasional bukanlah penentu segalanya. Yang terpenting adalah bagaimana saya menyikapinya dan apa yang saya pelajari dari setiap langkah," gumamnya pelan.
Di balik angka, ada sebuah perjalanan yang lebih indah untuk diceritakan: kehidupan itu sendiri.
Dalam semangat tersebut, Leko mulai merubah pendekatannya. Ia mengatakan kepada orang tuanya, "Bu, Pak, mungkin kita bisa belajar bareng? Saya tidak ingin merasa stres terus menerus." Dengan kerendahan hati dan keinginan untuk berbagi, orang tuanya menerima ide tersebut. Mereka mulai membuat waktu untuk belajar bersama, bukan hanya fokus pada soal-soal ujian, tetapi juga berbagi pengalaman dan kebahagiaan saat belajar.
Hari-hari pilihan kembali berputar. Ujian Nasional pun datang. Meskipun cemas, Leko telah siap secara mental. Ia melangkah menuju ruang ujian dengan penuh harapan, menyadari bahwa hidup tidak selalu tentang angka, tetapi tentang bagaimana cara kita belajar dari pengalaman.
Ketika siang itu berakhir dan ia menerima hasil ujian, Leko tersenyum. Baik hasilnya memuaskan ataupun tidak, ia tahu bahwa perjalanan hidupnya adalah sesuatu yang lebih berarti daripada sekadar angka.
"Ujian Nasional bukanlah penentu segalanya. Yang terpenting adalah bagaimana saya menyikapinya dan apa yang saya pelajari dari setiap langkah," gumamnya pelan.
Di balik angka, ada sebuah perjalanan yang lebih indah untuk diceritakan: kehidupan itu sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI