Suatu sore, saat Leko keluar rumah, ia melihat beberapa teman sebayanya sedang bermain di lapangan. Dengan ragu, ia mendekat, namun secepat itu rasa bersalah menyergapnya. "Aku tidak bisa bermain, aku harus belajar," gumamnya.
"Leko, ayo ikut bermain sebentar! Sekali-sekali saja. Belajar saja semua hari bikin otakmu stres!" ajak Mersi, temannya yang selalu ceria.
Namun, ajakan itu hanya mengundang lebih banyak tekanan di dalam hati Leko. "Tapi aku tidak bisa. Ujian Nasional sudah dekat, dan aku harus siap...," jawab Leko, kembali berlari ke dalam rumah.
Di dalam rumah, ia menemukan kedua orang tuanya sedang memperbincangkan masa depan. "Kalau Leko gagal Ujian Nasional ini, apa yang akan terjadi? Sekolah mana yang mau menerima anak dengan nilai rendah?" sang Ayah bercerita lirih, tanpa menyadari bahwa Leko memperhatikan dari balik pintu.
"Iya, saya khawatir. Ujian ini seperti sebuah pemeriksaan hidup, dan Leko harus lulus!" balas sang Ibu, matanya berkilau karena mendukung harapan tersebut.
Leko merasa hidupnya tidak sepenuhnya miliknya lagi. Semua yang terjadi adalah tentang 'ujian' dan 'angka', tanpa ada tempat untuk menikmati proses belajar. Dalam benaknya, lulus dari Ujian Nasional tidak hanya soal kelulusan, tetapi juga membawa beban harapan untuk bisa melanjutkan pendidikan yang lebih baik. Bukankah semua orang bilang, angka adalah segalanya?
Malam ini, ketika semua orang terlelap, Leko tetap terjaga. Ia membuka jendela kamarnya, menikmati angin malam yang berhembus lembut. Sesuatu mulai terbesit di pikirannya. "Apakah Ujian Nasional ini adalah ukuran ku? Apakah semua yang telah kuperjuangkan hanya akan dinilai dengan sebuah angka?"
Dengan keras, Leko merobohkan tumpukan bukunya ke lantai. "Hidup bukan hanya tentang ujian dan angka!" teriaknya dalam hati. Dia butuh ruang untuk bisa bernapas, untuk menemukan cara belajar yang menyenangkan, yang tidak terburuk oleh ketakutan akan ujian. Semangat belajar bukan untuk mengejar angka, tetapi untuk menuntun dirinya menjadi pribadi yang lebih baik.
Dalam semangat tersebut, Leko mulai merubah pendekatannya. Ia mengatakan kepada orang tuanya, "Bu, Pak, mungkin kita bisa belajar bareng? Saya tidak ingin merasa stres terus menerus." Dengan kerendahan hati dan keinginan untuk berbagi, orang tuanya menerima ide tersebut. Mereka mulai membuat waktu untuk belajar bersama, bukan hanya fokus pada soal-soal ujian, tetapi juga berbagi pengalaman dan kebahagiaan saat belajar.
Hari-hari pilihan kembali berputar. Ujian Nasional pun datang. Meskipun cemas, Leko telah siap secara mental. Ia melangkah menuju ruang ujian dengan penuh harapan, menyadari bahwa hidup tidak selalu tentang angka, tetapi tentang bagaimana cara kita belajar dari pengalaman.