Loker Ruang Hampa
Di tengah gemuruh suara rakyat yang merunduk, sebuah loker berbentuk megah berkilau di pusat kerajaan, menggoda suara-suara kecil yang nyaris tak terdengar. "Apa kabar, wahai rakyatku?" mungkin itu yang terlintas di pikiran sang putra mahkota, saat ia membuka ruang dari segala keluhan tanpa kejelasan yang menjanjikan. Di balik bukti pengaduan, apakah tersimpan harapan baru atau sekadar ilusi yang membuyarkan ketertiban?
Kerajaan Barunawati telah berusia seribu tahun, sebuah lanskap ketenangan yang tampaknya abadi. Raja Rahardjo, penguasa yang bijaksana, duduk di tahta dengan cucur air mata rakyatnya yang selalu terjaga. Para pejabatnya berusaha keras untuk menjaga harmoni, meski picik kadang meliputi pandangan mereka. Namun, perubahan seperti badai tak terduga yang membawa minus dalam hitungan matematika sederhana.
Di sinilah Leticia, seorang petani dari desa kecil di pinggiran kerajaan, merasakan kegelisahan itu. Ia serta ratusan jiwanya melihat musibah yang menimpa hasil panen akibat kekeringan yang tak kunjung reda. Mereka menyerahkan segalanya kepada raja, berharap ada kebijaksanaan mengatur jalan keluar, tetapi harapan itu hanyut bersama aliran waktu.
Ketika putra mahkota, Alden, memperkenalkan inovasi gila --- Loker Putra Mahkota --- situasi kian berbahaya. Dengan senyum tulus, Adlen berkata, "Bawa keluhan kalian, dan saya akan mendengarkan!" Ia berusaha mengambil hati rakyat dengan langkah populis, menyodorkan loker bercahaya. Namun, tanpa jaminan solusi. Hanya sekadar loker kosong yang menampung isi hati tanpa janji.
Warga desa mulai meramaikan loker ini, meluapkan keluhan yang selama ini terpendam. "Panen kami gagal!" tulis Leticia. "Kami butuh air!" seruan lain tertera di kertas yang terlipat rapi. Namun, suara mereka hanya dipadukan dengan senyap, tidak disusul dengan tindakan, hanya harapan bendera putih.
"Loker Putra Mahkota" menjadi simbol kesedihan; suara yang terabaikan di tengah ladang harapan yang tandus. Pejabat-pejabat kerajaan, yang lazimnya memegang kendali untuk menyelesaikan masalah, mulai merosot fungsinya. Mereka teralihkan oleh euforia kekuasaan baru yang mudah dan tampak bersih, dimana semua keluhan menjadi hiasan dekoratif tanpa solusi.
Hari demi hari berlalu, raja semakin menua, dan Alden semakin menyelubungi pemerintah dalam kabut yang mendesak. Agar keluhan yang masuk ke loker, raja tidak mendengarkan! Dia terbuai. Semua pengaduan itu dibuat seolah-olah didengar, sedangkan realitasnya kekuasaan beralih ke arah nihil, loker yang kosong menyimpan cinta, tetapi tiada harapan.
Pasca satu bulan, Leticia kembali; dia membawa sesuatu yang berbeda di matanya: amarah. "Yang mulia, apa ini? Kami mengharapkan perubahan, bukan sekadar tempat penyimpanan!" teriaknya di depan loker, sementara rakyat di sekelilingnya berbisik. "Apa jadinya? Semua mengeluh, tetapi tak ada yang berubah."
Kini, loker yang dulunya nan indah itu berfungsi sebagai simbol kebohongan. Ia menciptakan jurang antara citra sang putra mahkota yang baik hati dan kenyataan pahit di kehidupan rakyat. Terdengar desas-desus bahwa Loker Putra Mahkota itu akan dijadikan sarana propaganda politik.