Membangun Kecintaan terhadap Bahasa Indonesia melalui Aktivitas Menyenangkan: Menulis Surat Cinta untuk Orangtua
Bulan Bahasa di bulan Oktober selalu menjadi momen yang tepat untuk meningkatkan apresiasi siswa terhadap Bahasa Indonesia, terutama di era globalisasi ketika bahasa asing semakin dominan. Dalam upaya menumbuhkan minat para siswa terhadap bahasa Indonesia, kita perlu melakukan pendekatan yang lebih personal dan bermakna, yang tidak hanya meningkatkan kemampuan berbahasa tetapi juga memperkuat ikatan emosional mereka. Salah satu pendekatan yang efektif adalah dengan mengajak siswa untuk menulis surat cinta kepada orangtua mereka. Walaupun ini adalah kegiatan sederhana, dampaknya sangat positif, baik untuk penguasaan bahasa maupun untuk perkembangan pribadi siswa.
1. Menulis Surat Cinta sebagai Media Ekspresi dan Refleksi Diri
Dalam pembelajaran (pendidikan agama) saya beberapa meminta para siswaku untuk menulis apa saja yang sedang mereka rasakan atau pikirkan, sekurang-kurang yang mereka alami selama sepekan. Karena kami bertemunya seminggu sekali selama 2-3 jampel (paling banyak 4 jampel) untuk sebuah kelas. Dalam dua minggu terakhir malah saya meminta mereka menulis surat cinta untuk orangtua dan laporan (berita) atas kegiatan yang mereka ikuti bersama.
Surat cinta kepada orangtua bukan sekadar kegiatan menulis, melainkan sebuah proses pengungkapan perasaan terdalam dan apresiasi yang mungkin jarang diutarakan.
Ketika siswa diajak untuk menulis surat cinta, mereka diajak untuk merefleksikan kasih sayang, rasa terima kasih, dan apresiasi mereka terhadap sosok yang paling dekat dalam hidup mereka.
Bagaimana mereka melukiskan sosok ibu/mama atau ayah mereka dengan seorang anak yang polos. "Saya sangat beruntung memiliki mama sebaik dan sesabar mama saya. Meski tidak ada sosok ayah di dalam rumahku, saya bersyukur bersyukur punya mama yang sangat sayang sama saya. Saya sebenarnya sedih dan iri kepada orang-orang yang disayang oleh ayahnya, karena saya tidak pernah merasakan disayangi oleh sosok ayah."Â Demikian tulis salah seorang siswa saya.
Sementara temannya yang lain lebih "beruntung" karena mengalami kasih sayang yang lengkap dari orangtuanya. Ia menulis, "Ayah dan Ibu adalah anugerah terindah dalam hidupku. Kasih sayang yang Ayah dan Ibu berikan kepadaku tulus tanpa mengharapkan balas jasa dariku. Tidak ada yang bisa kuberikan selain ucapan terima kasih yang sederhana ini."
Kedua ungkapan ini mencerminkan pengalaman hidup yang sangat beragam dari dua siswa yang berada dalam situasi keluarga yang berbeda. Keduanya sama-sama menyentuh karena mengungkapkan perasaan cinta dan syukur yang tulus terhadap orangtua mereka. Keduanya menunjukkan bahwa menulis bukan sekadar latihan akademik, tetapi juga proses reflektif yang dapat membantu siswa memahami dan mengekspresikan perasaan mereka dengan lebih mendalam.
Refleksi ini menjadi bersambung dengan tema pembelajaran tentang keunikan diri. Keduanya memiliki keunikan dalam merasakan dan "membalas" cinta kasih dari dan kepada orangtua mereka.
Siswa pertama mengekspresikan rasa syukur yang mendalam kepada ibunya, yang telah memainkan peran ganda sebagai ibu sekaligus figur ayah dalam hidupnya. Di balik rasa syukur itu, ada juga perasaan sedih dan kerinduan akan figur ayah yang belum pernah ia alami.
Tulisan (surat pertama) ini mengungkapkan kompleksitas emosi yang dirasakan oleh anak-anak yang tumbuh dalam keluarga dengan orangtua tunggal, termasuk rasa kehilangan dan kekuatan yang mereka temukan dalam kasih sayang dari sosok yang ada.