Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Lewotobi

5 November 2024   09:30 Diperbarui: 5 November 2024   09:37 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi tentang gunung meletus olahan GemAIBot, dokpri)

Lewotobi

Di bawah langit malam yang hening, Lewotobi berdiri megah, seperti seorang penjaga tua yang tak tergoyahkan. Bagi masyarakat di lerengnya, gunung itu bukan sekadar pemandangan; ia adalah sahabat, pelindung, bahkan bagian dari keluarga. Namun, malam itu, di tengah nyanyian jangkrik dan angin lembah yang tenang, Lewotobi tiba-tiba menggeliat, meledakkan amarah yang sudah lama terpendam. Dentuman keras membelah sunyi, dan lahar panas melesat liar, menghantam desa-desa di bawahnya. Orang-orang yang mempercayainya kini berhadapan dengan kemarahan yang tak pernah mereka bayangkan, malam petaka yang menguji cinta mereka pada gunung yang kini menjelma menjadi musuh.

***

Sudah lama Lewotobi berdiri kokoh. Selalu begitu, gagah dan agung, ia menyentuh langit dengan ketenangan yang membuat masyarakat di sekitarnya merasa aman. Seperti seorang tua yang bijaksana, gunung ini adalah bagian dari kehidupan mereka; saksi bisu atas generasi yang datang dan pergi. Kehadirannya begitu akrab, seolah ia adalah anggota keluarga yang diam, namun senantiasa melindungi.

Malam itu, desa-desa di bawah kaki Lewotobi tertidur dengan lelap. Hening malam yang biasa tiba-tiba berubah menjadi suara gemuruh dalam-dalam, seperti suara hati yang terluka parah. Bunyi itu menggema, bergerak perlahan tapi pasti, mendesak ke permukaan. Orang-orang yang terbangun dengan rasa takut dan penasaran, hanya bisa saling pandang tanpa suara. Mereka saling bertanya dalam hening yang mencekam: apakah ini pertanda?

Tak lama kemudian, Lewotobi bergetar hebat. Tidak ada aba-aba, tidak ada peringatan. Seakan menyimpan kemarahan bertahun-tahun, ia meletus. Lahar panas, batuan, dan debu mengepul ke angkasa dengan cepat, menghujani desa-desa tanpa ampun. Api berkobar di beberapa sudut, dan teriakan orang-orang bercampur dengan suara dentuman. Masyarakat yang sudah tinggal dan menggantungkan hidup mereka pada tanah ini, yang percaya bahwa Lewotobi adalah sahabat, kini dihancurkan oleh apa yang mereka percayai.

Di tengah kekacauan itu, ada Oa Neni, perempuan paruh baya yang sudah sejak lahir tinggal di bawah kaki Lewotobi. Ia tak pernah bisa membayangkan bahwa gunung yang ia cintai itu akan menghancurkan semuanya. Dengan mata basah dan tubuh gemetar, ia memeluk erat bayinya yang masih terlelap. Di tengah kebingungan, Oa Neni berharap ini hanya mimpi buruk yang akan segera berlalu. Namun, realita mencekik lebih erat daripada yang ia kira.

"Ayo, lari! Ayo, cepat! Lewotobi marah!" teriak seorang lelaki tua di luar rumahnya. Namun, suara itu kalah oleh gemuruh yang terus menerus keluar dari perut gunung. Asap dan debu menyesakkan udara, menyelimuti desa dalam kegelapan pekat yang tak terpecahkan oleh cahaya apa pun.

Warga berlarian mencari tempat aman, namun kebanyakan tidak tahu harus ke mana. Mereka terbiasa pada ketenangan Lewotobi, pada sosoknya yang diam namun penuh arti. Namun kini, gunung yang mereka sayangi dan percayai itu menjelma menjadi sesuatu yang asing. Lewotobi, yang selalu bersahabat, kini adalah musuh yang tak terbayangkan. Setiap letusan seakan mengingatkan mereka pada hal-hal yang tak pernah mereka duga.

Di antara suara jeritan dan tangis, Oa Neni berlari, melewati batu-batu yang berjatuhan. Ia melihat tetangganya, Pak De Matius, seorang yang sering bercerita tentang gunung ini, tentang bagaimana ia menghabiskan masa kecilnya bermain di lereng-lerengnya. Namun, malam ini, Pak De Matius hanya bisa berteriak memanggil anak-anaknya yang hilang entah ke mana. Di matanya, ada kekecewaan yang dalam, kekecewaan yang menghujam karena cinta yang dikhianati oleh gunung yang ia anggap sebagai teman.

Oa Neni terus berlari, meski kekuatannya hampir habis. Nafasnya tersengal-sengal, namun ia tidak berhenti. Baginya, hidup anaknya lebih penting dari apapun. Ia harus menyelamatkan bayinya, menjauhkan mereka dari teror yang tidak pernah ia bayangkan. Namun, seperti kenyataan pahit yang tak bisa dihindari, tiba-tiba ia tersandung, jatuh bersama bayinya di tengah gumpalan abu dan batuan yang panas. Di situ, di antara desahannya yang terakhir, ia menyadari bahwa semua ini adalah takdir yang tak bisa ia lawan. Lewotobi telah berubah, dan cinta mereka tidak mampu menyelamatkan mereka.

(regional.news.id)
(regional.news.id)

Esok paginya, desa itu hanya menjadi puing-puing. Pohon-pohon hangus, rumah-rumah rubuh, dan langit tertutup debu yang masih melayang pelan. Mayat-mayat tergeletak tanpa daya, seperti saksi bisu dari tragedi yang tidak bisa mereka tolak. Gunung itu, yang sekarang diam setelah amukannya, menyisakan sepi yang menyesakkan.

Dalam keheningan itu, beberapa orang yang selamat menatap Lewotobi dengan perasaan campur aduk. Ada kesedihan yang mendalam, ada luka yang tidak mudah sembuh, namun di hati kecil mereka, cinta terhadap gunung itu tetap ada. Meski ia telah merenggut orang-orang yang mereka sayangi, mereka tahu bahwa Lewotobi bukan sekadar ancaman; ia adalah bagian dari mereka, bagian dari hidup dan mati yang mereka jalani bersama.

Dengan langkah lemah, Pak De Matius berdiri memandang puncak Lewotobi. Matanya basah, bukan karena amarah, tapi karena kehilangan yang tidak akan pernah bisa tergantikan. Bagi mereka, Lewotobi bukan sekadar gunung, ia adalah saksi dari cinta, persahabatan, dan akhirnya, penghancuran yang mengingatkan mereka pada hal-hal yang tak bisa mereka lawan---bahwa alam kadang memiliki caranya sendiri untuk mengingatkan manusia tentang ketidakberdayaannya.

Lewotobi diam sekarang. Tapi bagi mereka yang bertahan, gunung itu akan tetap hidup, dalam cerita-cerita yang mereka sampaikan pada anak-anak mereka, dalam kenangan yang mereka simpan di hati. Lewotobi bukan lagi sekadar gunung; ia adalah pelajaran tentang cinta yang berbalut duka, tentang betapa alam dan manusia saling terkait dalam cara yang rumit dan penuh misteri.

NB. Teriring doa untuk menguatkan para saudara dan saudari yang sedang berkesusahan. Semalam saya dan tim angkatan masa SMA menggalang solidaritas yang pagi ini sudah dibawa langsung oleh rekan kami ke lokasi bencana. Puji Tuhan bisa terkumpul 11 juta. Semoga bisa sedikit membantu. Sementara di aneka WAG bermunculan inisiatif untuk menggalang donasi. Semoga semakin banyak yang tersentuh dan mengulurkan pertolongan dan cinta serta doa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun