Lonely Marriage di Era Digital
Tantangan Relasi Pernikahan di Tengah Arus Teknologi Menurut Pandangan Gereja
Â
Ketika saya masih kecil (tahun 80-an), jika terjadi percecokan antara orang tua dengan anak atau antara suami dengan istri yang tahu hanyalah seisi rumah itu. Tetangga yang terdekat kadang tidak tahu. (Kecuali ada yang berteriak-teriak atau terjadi kekerasan fisik sehingga salah satu pihak meminta tolong tetangga atau RT.) Yang sering terjadi adalah kita tidak pernah tahu kapan orang tua cekcok atau bertengkar. Yang kita lihat hanya ayah atau ibu yang tidak banyak bicara seperti biasanya. Di hadapan anak-anak nampak baik-baik saja. Kalau pun orang tua tidur beda kamar ya kita anggap baik-baik saja. Bukan sesuatu yang luar biasa yang harus dipersoalkan. Kalau sekarang tidur bisa ranjang saja sudah menjadi gorengan media seolah itu hal yang layak diketahui banyak orang.Â
Hal yang berbeda justru terjadi sekarang. Apapun yang terjadi dalam keluarga, seluruh dunia jadi tahu. Suami dan istri bertengkar bisa menjadi milik dan perhatian umum entah di media televisi atau media sosial lainnya. Membongkar aib, kesepian relasi perkawinan, perselingkungan dan lain-lain dirasa menjadi milik semua orang, bukan hanya keluarga yang terlibat. Bahkan persoalan lonely marriage pun menjadi konsumsi umum. Semua orang berhak "kepo" atas kesepian yang sedang melanda sepasang suami istri entah di pelosok dunia mana pun.
Memang harus diakui bahwa teknologi komunikasi yang terus berkembang menawarkan kemudahan, tetapi juga menyimpan tantangan tersendiri bagi kehidupan pernikahan. Dalam sebuah dunia yang semakin "terbuka," banyak pasangan suami-istri merasakan lonely marriage, sebuah kesepian emosional meskipun hidup bersama. Saya ingin bertanya secara lebih spesifik "Apakah benar bahwa gawai, media sosial, dan ekspektasi dari dunia digital menjadi penyebab utamanya?" Lalu "Bagaimana pandangan Gereja dan pesan para Paus mengenai relasi pernikahan yang harmonis di tengah godaan era modern?"
Gawai dan Distraksi dalam Relasi Pernikahan
Teknologi digital yang terus berkembang telah membuka banyak hal dalam hidup, termasuk kehidupan pernikahan, sehingga sesuatu yang seharusnya privat kini sering terbuka menjadi konsumsi publik. Lonely marriage, atau pernikahan yang terasa sunyi, sering kali terjadi ketika pasangan lebih memilih gawai atau dunia maya daripada membangun relasi emosional yang utuh dengan pasangan. Paus Fransiskus dalam Amoris Laetitia (Sukacita Kasih) memberikan perhatian khusus pada tantangan ini, mengingatkan bahwa cinta pernikahan membutuhkan ketulusan dan komunikasi mendalam untuk menjaga kehangatan dan kebahagiaan keluarga.
Gadget menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan sering kali mengalihkan perhatian suami-istri satu sama lain. Pemeo "yang jauh menjadi dekat dan yang dekat menjadi jauh" semakin menemukan legasinya. Interaksi yang seharusnya penuh perhatian di tengah keluarga menjadi terfragmentasi oleh notifikasi di layar ponsel yang tak pernah berhenti.
Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya Familiaris Consortio (Persekutuan Keluarga) menegaskan bahwa keluarga adalah tempat yang suci di mana pasangan suami istri saling berbagi perhatian dan cinta. Teknologi yang awalnya diciptakan untuk memudahkan komunikasi sering justru menjadi sumber isolasi emosional. Paus Fransiskus, dalam Amoris Laetitia, juga menekankan pentingnya hubungan interpersonal yang tulus di antara pasangan, yang tidak dapat tergantikan oleh interaksi virtual. Apakah kita harus permisif, "Ah tidak apa-apa memang sudah waktunya harus serba terbuka. Persoalan keluarga (yang privat) adalah juga persoalan dunia, persoalan semua orang, sehingga semua orang berhak tahu."
Media Sosial dan Ilusi Kehidupan Pernikahan yang "Sempurna"
Media sosial sering kali menampilkan gambaran hidup yang ideal dan sempurna. Paus Fransiskus mengingatkan dalam Amoris Laetitia bahwa kesenangan dalam hidup keluarga tidak dapat diukur dengan standar materialistik atau pencapaian yang terlihat, melainkan melalui pengorbanan dan pengertian. Media sosial dapat membuat pasangan merasa bahwa hidup mereka kurang sempurna dibandingkan kehidupan pasangan lain yang dipamerkan di dunia maya.
Lihatlah, orang ramai-ramai memamerkan semua "isi rumahnya" kepada semua orang melalui media sosial. Tetapi ketika "pembongkaran isi rumah" itu menemui jalan buntu (misalnya tersangkut kasus hukum karena korupsi dan lainnya) mulai timbullah ketidakpuasan dan tekanan emosional dalam pernikahan, yang mengakibatkan keretakan hubungan, saling menjelekkan, saling menyakiti baik secara psikis maupun fisik. Polemik mulai membanjiri media sosial. Dunia luar hanyalah menjadi penonton atau pemandu sorak, sedangkan kedua pihak yang terlibat hanya memendam sakit hati dan dendam satu sama lain.
Paus Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio menggarisbawahi bahwa kasih yang sejati dalam pernikahan adalah komitmen seumur hidup yang mendalam, bukan sekadar kebahagiaan yang tampak, yang seolah-olah karena polesan demi konten (kreator). Ketika pasangan suami istri merasakan tekanan untuk menampilkan pernikahan mereka sebagai "bahagia" dan "sempurna" di media sosial, mereka bisa kehilangan esensi dari cinta yang sejati, cinta yang mendalam, penuh pengertian, dan pengampunan.Â
Privasi dan Kehidupan Pernikahan dalam Pandangan Gereja
Kemajuan teknologi menyebabkan perubahan drastis dalam pandangan kita mengenai privasi, termasuk dalam kehidupan pernikahan. Kehidupan yang dahulu dianggap sakral kini kerap diumbar atau menjadi bahan pembicaraan umum. Kehidupan rumah tangga sering terpapar secara tidak langsung melalui cerita di media sosial, yang bisa memengaruhi hubungan emosional dan mental pasangan. Paus Benediktus XVI, dalam berbagai kesempatan, mengingatkan bahwa hidup keluarga sebaiknya dipelihara dengan kerahasiaan dan kehormatan, karena relasi yang kuat dibangun di atas kepercayaan, bukan eksposur apalagi eksploitasi. Karena yang namanya eksploitasi selalu lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Misalnya, eksploitasi alam yang berlebihan hanya akan menjadi pintu gerbang bencana yang semakin dekat dengan dunia kita.
Gereja mengajarkan bahwa keluarga adalah Gereja kecil (ecclesia domestica) yang memiliki peran khusus dalam menjaga keintiman dan relasi kasih antara suami istri. Hal ini ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II yang menganjurkan pentingnya peran pasangan dalam menjaga rahasia dan privasi rumah tangga untuk melindungi hubungan yang sakral.
Menggunakan Teknologi dengan Bijak
Paus Fransiskus dalam Amoris Laetitia mengingatkan pentingnya waktu berkualitas bersama keluarga dan tidak mengizinkan teknologi menjadi penghalang dalam berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain. Gereja mengajarkan bahwa teknologi dapat digunakan untuk memperkuat, bukan merenggangkan hubungan, jika penggunaannya bijaksana dan penuh kesadaran. Pasangan disarankan untuk membuat waktu tanpa gadget untuk fokus pada komunikasi mendalam, mendiskusikan perasaan, dan memperkuat ikatan emosional (yang kini kian sulit).
Ini menjadi tantangan bagi tim pendampingan keluarga entah di tingkat paroki, kevikepan atau keuskupan bagaimana menyiapkan Katekese Persiapan Hidup Berkeluarga atau Kursus Persiapan Perkawinan bagi pasangan muda. Saya kurang tahu bagaimana sekarang Tim KPHB menyiapkan materi katekese bagi mereka yang akan menikah dan membentuk kesatuan sebagai suami istri.
Akhrinya kita harus diakui bahwa,
Lonely marriage di era digital adalah sebuah fenomena yang nyata, namun bukanlah tanpa solusi. Dengan menjaga prinsip yang diajarkan oleh Gereja dan panduan dari para Paus, pasangan suami istri dapat menghadapi tantangan teknologi tanpa kehilangan kehangatan dan keintiman relasi pernikahan. Dengan demikian, pernikahan tidak hanya bertahan, tetapi juga bertumbuh menjadi relasi yang penuh kasih, sebagaimana yang diajarkan oleh Gereja:Â sebagai persekutuan suci yang melampaui waktu dan teknologi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H