Manis dan Pahit yang Bertengkar
Kopi manis dan kopi pahit berdebat,
Di cangkir-cangkir mereka terlibat kuat,
Manis berkata, "Aku pembawa sukacita, senyum lekat."
Pahit membalas, "Aku adalah jujur, sekeras kenyataan terangkat."
Mereka berdentang dalam cawan kehidupan,
Di antara bibir yang terus tersenyum dan melawan,
Meneguk nasib dalam tegukan, sekali lepas,
Merasakan campuran rasa yang tak pernah lelah membekas.
***
Panas matahari menyentuh tanah Lakobingu dengan kelembutan yang mengejutkan. Seolah, hari itu, langit ingin turut merayakan. Di halaman rumah kepala suku yang megah dan teduh, para utusan adat berkumpul, membawa cerita dan tradisi yang mengalir seperti aliran sungai di pegunungan. Gelas-gelas kopi yang penuh aroma memenuhi meja, menggoda setiap indra. Ada yang hitam pekat, ada pula yang diaduk dengan gula, melahirkan aroma yang mengundang perdebatan diam-diam: siapa lebih dihargai, pahit atau manis?
"Kau tahu, pahit adalah tanda dari kekuatan. Seperti kita, yang telah lama mengarungi berbagai badai dan tetap teguh," ujar seorang tetua dengan nada berat, memegang cangkirnya yang berisi kopi hitam.
Di sebelahnya, seorang lelaki muda -utusan dari kampung sebelah yang terkenal dengan senyum lebarnya -tertawa kecil, "Kekuatan memang penting, tapi kebahagiaan juga perlu. Manis itu menghibur. Setelah segala pahit kehidupan, sedikit manis bukanlah hal yang salah."
Gelas-gelas kembali berdentang. Obrolan meriah diiringi suara canda, tawa, dan petuah yang saling bersahut. Tapi di antara itu, ada satu suara yang tiba-tiba memecah suasana. Tua, rendah, dan penuh pengalaman.
"Kopi itu tak peduli, kawan. Entah pahit atau manis, ia tetap harus kita teguk," kata Kepala Suku Lakobingu, menatap semua orang di sana. "Yang pahit mengingatkan kita akan masa-masa sulit, perjuangan yang tak bisa kita hindari. Sedangkan yang manis? Itu hadiah, mungkin sesaat, namun selalu layak untuk dinikmati. Dan kita, kita di sini bukan untuk memilih salah satunya. Kita berkumpul untuk merayakan keduanya."
Suasana mendadak hening. Semua utusan saling memandang, mengangguk pelan seperti baru saja menerima sebuah pelajaran penting.
Sore menjelang, matahari semakin rendah dan kopi tinggal separuh cangkir. Saat para tamu mulai meninggalkan rumah kepala suku, seorang pemuda menghampiri sang Kepala Suku dan bertanya, "Mengapa kita tidak bisa memilih hanya yang manis saja, agar hidup ini lebih ringan?"
Kepala Suku tertawa lembut, menepuk pundak si pemuda, lalu menjawab, "Anakku, jika kau hanya memilih yang manis, kau hanya akan menikmati hidup setengahnya. Kepahitan mengajarkan kita arti dari kegembiraan. Tanpa pahit, manis hanya akan terasa biasa saja."