Warga mulai berkumpul untuk membersihkan dan membangun kembali, tetapi Osebeo tahu bahwa kerusakan yang sesungguhnya bukan terletak pada desa ini, melainkan pada hati manusia. Mereka yang menggunduli hutan di hulu telah merenggut kehidupan pohon-pohon yang selama ini menjadi pelindung desa. Ketamakan telah menebas akar-akar yang kokoh, menggantikannya dengan tanah gundul yang rapuh. Pada akhirnya, banjir bandang itu bukanlah kutukan dari langit, melainkan hasil dari tangan manusia sendiri.
Di tengah hiruk-pikuk usaha pemulihan, Osebeo berbisik pada dirinya sendiri, dengan suara yang nyaris tak terdengar di antara gemericik sungai, "Ketika pohon-pohon ditebang dan hutan-hutan digunduli, manusia sedang menggali liang kubur mereka sendiri. Air yang dulu membawa kehidupan, kini datang untuk mengubur mereka yang serakah."
Pesan itu kemudian disampaikan kepada warga, sebagai sebuah pengingat dan peringatan. Bahwa alam bukan musuh yang harus ditaklukkan, melainkan sahabat yang harus dijaga. Keserakahan manusia yang menggunduli hutan akan selalu membawa hukuman; sebuah hukuman yang nyata dan tak bisa dielakkan, ketika banjir bandang datang, ia akan mengubur bukan hanya pohon-pohon yang telah tumbang, tetapi juga hati manusia yang tak pernah puas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H