Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Gendruwo Tambun dan Menteri Seribu Kepala

22 Oktober 2024   17:10 Diperbarui: 22 Oktober 2024   17:31 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Gendruwo Tambun dan Menteri Seribu Kepala

Di sebuah desa yang dipeluk hutan lebat, beredar cerita tentang Gendruwo Tambun, makhluk gaib bertubuh besar dengan mata merah menyala, yang gemar melahap apa pun yang bukan miliknya. Namun, di balik bayang-bayang menyeramkan itu, ada satu legenda lain yang lebih mengerikan: Menteri Seribu Kepala, sosok yang haus akan kekuasaan, menciptakan seribu jabatan demi memuaskan ambisinya. Saat keserakahan manusia dan kekuatan gaib bertemu, terungkaplah bahwa bukan hanya kekuasaan yang dipertaruhkan, tetapi juga nyawa, tertelan dalam perut gelap yang tak pernah puas.

**

Cerita tentang Gendruwo Tambun yang sangat menakutkan diwariskan turun termurun. Makhluk itu digambarkan bertubuh gemuk, besar, dengan kulit hitam legam dan mata merah menyala. Gendruwo ini memiliki kebiasaan mengerikan: dia suka memakan apa pun yang bukan miliknya. Harta benda, makanan, bahkan nyawa manusia, bisa menjadi santapannya.

Tetapi cerita ini tidak hanya berhenti pada sosok gaib yang rakus. Ada satu legenda lain yang sering diceritakan bersamaan, tentang seorang "Menteri Seribu Kepala." Konon, menteri ini adalah sosok yang haus kekuasaan, selalu ingin mengendalikan banyak hal. Dia tidak puas hanya dengan kekuasaan yang ada di tangannya. Maka, dia mulai menciptakan seribu posisi wakil menteri untuk membagi-bagikan kursi kepada mereka yang menurutnya "layak" mendapatkan jatah.

Malam itu, di sebuah warung kopi yang sudah hampir tutup, para warga berkumpul membahas berita terbaru tentang banyaknya posisi baru di pemerintahan. Mereka membicarakan bagaimana menteri menciptakan berbagai jabatan baru hanya untuk membungkam para pendukungnya yang haus kekuasaan. Suara ketidakpuasan dan keluhan terdengar dari berbagai sudut.

"Menteri Seribu Kepala itu benar-benar serakah!" seru Pak Tohir, seorang warga tua yang selalu kritis. "Bukannya memikirkan kepentingan rakyat, dia malah sibuk memperbanyak kursi!"

Di tengah diskusi panas itu, muncul seorang lelaki tua yang tidak dikenal. Wajahnya keriput, matanya tajam, dan dia membawa tongkat kayu yang tampak antik. Lelaki tua itu duduk di pojok warung kopi, mendengarkan dengan cermat setiap percakapan yang berlangsung. Setelah beberapa saat, dia pun angkat bicara.

"Kalian tahu?" katanya dengan suara serak, "Legenda Menteri Seribu Kepala itu lebih dari sekadar cerita tentang kekuasaan dan kursi. Ada keterkaitan antara menteri itu dengan Gendruwo Tambun."

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Mendengar itu, semua orang di warung kopi terdiam, memandang ke arah lelaki tua tersebut.

"Gendruwo Tambun adalah sosok penjaga yang ditugaskan oleh para leluhur untuk menjaga keseimbangan alam," lanjut lelaki tua itu. "Tetapi, ketika Menteri Seribu Kepala mulai membagi-bagikan kekuasaan secara sembarangan, serakah dan tak terpuji, Gendruwo Tambun pun bangkit untuk menuntut kembali apa yang telah diambil dengan cara yang tidak sah. Ia tidak hanya mencari harta, tetapi juga jiwa."

Pak Tohir menatap dengan ragu. "Maksud Bapak, Gendruwo Tambun itu... benar-benar nyata?" tanyanya.

Lelaki tua itu mengangguk pelan. "Ya, dan saat ini ia sedang lapar... sangat lapar."

Malam itu, suasana desa mendadak mencekam. Beberapa warga melaporkan mendengar suara langkah berat dan aroma busuk yang memenuhi udara di sekitar rumah mereka. Sapi-sapi yang dipelihara warga ditemukan mati dengan kondisi mengenaskan, seperti ada yang mencabik-cabiknya. Tidak ada yang tahu siapa pelakunya, tetapi cerita tentang Gendruwo Tambun segera menjadi bahan perbincangan hangat.

Keesokan harinya, seorang pejabat dari kota tiba di desa tersebut untuk memeriksa kabar angin yang beredar. Pejabat itu adalah salah satu dari seribu wakil menteri yang baru diangkat. Ia datang dengan tujuan menenangkan warga dan membantah semua cerita tentang makhluk gaib. "Semua ini hanyalah takhayul! Tidak ada Gendruwo, tidak ada menteri seribu kepala yang terkutuk!" serunya dengan lantang.

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Namun, di malam yang sama, sang wakil menteri menghilang secara misterius. Tidak ada yang melihatnya pergi, tetapi desas-desus mengatakan bahwa ia diculik oleh Gendruwo Tambun. Seorang saksi mata mengaku melihat sosok hitam besar membawa tubuh sang wakil menteri ke dalam hutan, di dekat pohon beringin yang dipercaya sebagai tempat tinggal makhluk gaib itu.

Kabar menghilangnya sang wakil menteri segera sampai ke telinga Menteri Seribu Kepala. Dalam rasa marah dan putus asa, sang menteri memutuskan untuk pergi sendiri ke desa itu, berusaha menunjukkan bahwa dia tidak takut pada takhayul atau makhluk halus. Dengan kawalan ketat, sang menteri tiba di desa, langsung menuju ke tempat sang wakil terakhir terlihat.

Saat malam tiba, di bawah cahaya bulan yang redup, sosok besar dan menyeramkan muncul di hadapan sang menteri. Gendruwo Tambun, dengan tubuhnya yang besar dan tambun, berdiri di antara pepohonan, menatap menteri dengan mata merah yang menyala penuh kebencian.

"Kau... terlalu serakah," geram Gendruwo, suaranya menggelegar seperti gemuruh. "Kursi-kursi yang kau bagikan bukan milikmu, dan sekarang, kau akan menebusnya."

Sang menteri mencoba melawan rasa takutnya, berteriak dengan lantang. "Aku berkuasa! Aku yang berhak menentukan semuanya! Siapa kau, makhluk busuk, yang berani menentangku?"

Gendruwo Tambun tertawa rendah, memperlihatkan deretan gigi tajamnya. "Aku adalah penjaga keseimbangan. Apa yang kau ambil secara tidak sah, kini aku ambil kembali. Kau telah menciptakan seribu kepala baru, tapi kau lupa, setiap kepala yang kau ciptakan menambah satu jiwa yang harus kutuntut."

Tiba-tiba, suara ratusan bisikan terdengar di sekitar sang menteri. Di antara pepohonan, tampak sosok-sosok bayangan yang mendekat, wajah mereka tampak samar-samar dan menakutkan. Mereka adalah jiwa-jiwa yang menjadi korban dari keputusan-keputusan menteri yang serakah. Satu demi satu, mereka mengelilingi sang menteri, mengunci gerakannya.

Sang menteri berusaha berlari, namun langkahnya tertahan oleh beratnya bayangan yang mencengkeramnya. Tubuhnya terasa semakin berat, seperti ditarik ke dalam kegelapan. Gendruwo Tambun mendekat dengan perlahan, suara tawa seramnya menggema di udara.

"Seribu kepala yang kau ciptakan hanyalah untuk memperbesar perutmu sendiri," bisik Gendruwo. "Sekarang, kau akan menjadi bagian dari perutku."

Dengan satu gerakan cepat, Gendruwo Tambun mencengkram sang menteri dan menariknya ke dalam kegelapan hutan. Esoknya, ketika matahari terbit, tidak ada yang tersisa dari sang menteri selain jejak kaki yang terinjak dalam tanah, dan pohon beringin yang bergoyang pelan seolah berbisik, menyimpan rahasia kelam desa itu.

Sejak saat itu, desa kembali tenang. Cerita tentang Menteri Seribu Kepala dan Gendruwo Tambun terus diwariskan sebagai pengingat bahwa keserakahan akan selalu membawa bencana, dan ada harga yang harus dibayar ketika seseorang mengambil apa yang bukan miliknya.

***

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Saat Gendruwo Tambun menyeret sang menteri ke dalam kegelapan, pekik terakhir yang meluncur dari mulut menteri itu seolah teredam oleh keheningan hutan. Pohon beringin bergoyang-goyang, seakan merayakan kedatangan jiwa baru yang menjadi korbannya.

Ketika fajar menyingsing, para warga yang mendatangi tempat itu hanya menemukan jejak-jejak kaki yang tercabik di tanah dan bayangan pekat di bawah beringin yang tampak lebih besar dari biasanya. Tidak ada sisa dari sang menteri, seolah ditelan oleh bumi. Namun, di bawah pohon itu, suara samar mulai terdengar dari jiwa-jiwa yang pernah direnggut oleh keserakahan.

Desa itu kembali tenang, tetapi tidak ada yang benar-benar merasa lega. Setiap malam, suara tawa serak Gendruwo Tambun menggema, mengingatkan siapa saja yang mendengar bahwa keserakahan selalu memakan korban, dan yang terlelap dalam ambisi tanpa batas akan berakhir dalam perut gelap yang tak pernah puas. Siapa pun yang mencoba mengambil apa yang bukan haknya, akan bernasib sama, lenyap, tanpa jejak, terseret ke dalam kegelapan yang lebih dalam dari malam itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun