Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Menteri Urusan Makanan Gratis yang Tak Pernah Ada

21 Oktober 2024   10:23 Diperbarui: 21 Oktober 2024   10:32 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)

MENTERI URUSAN MAKANAN GRATIS YANG TAK PERNAH ADA

"Berapa kali lagi kita harus terbuai oleh janji-janji kosong yang menggema di setiap masa kampanye? Berapa kali lagi kita harus merasa tertipu, berharap pada janji manis yang sekejap hilang begitu pemimpin baru duduk di kursi kekuasaan? Sudah saatnya kita membuka mata, karena janji yang diucapkan dengan lantang belum tentu datang dengan tindakan. Jangan biarkan harapan kita dipermainkan oleh retorika politik yang hanya muncul lima tahun sekali. Bangunlah kesadaran, jangan mudah percaya pada janji tanpa bukti."

Di sebuah negeri yang selalu bersorak kala pemimpinnya menebar janji, suasana senang menyelimuti istana. Para pembantu presiden baru saja dilantik. Mereka berbaris rapi, tersenyum penuh percaya diri di hadapan kamera, dan menyambut jabatan baru yang tertera dalam dokumen pelantikan. Namun, dari sekian banyak nama dan jabatan yang diumumkan, satu hal mencolok: tidak ada Menteri Urusan Makanan Gratis.

Padahal, program makanan gratis adalah andalan kampanye mereka. Setiap sudut negeri ini pernah mendengar janji manis itu, janji tentang perut kenyang tanpa beban, tentang nasi dan lauk yang tak lagi harus dicemaskan. Di setiap rapat umum, sang pemimpin selalu berkata dengan tegas, "Dengan makanan gratis, setiap warga akan merasa dihargai dan tak akan ada lagi yang kelaparan!" Sorak-sorai pun menggema, mengiringi janji yang menggiurkan itu.

Namun, setelah dilantik, janji itu seolah tertiup angin. Beberapa hari setelah upacara pelantikan, tak ada satu pun tanda tentang realisasi program makanan gratis yang sempat diagung-agungkan. Wartawan bertanya kepada salah satu pembantu presiden, dan dengan senyum yang nyaris sinis, ia menjawab, "Kita sedang memprioritaskan program lain yang lebih penting untuk saat ini. Jangan khawatir, makanan gratis masih dalam perencanaan."

Seiring berjalannya waktu, perencanaan itu seakan menguap. Warga mulai mengeluh, meski belum sampai pada kemarahan. "Mana janji makanan gratis itu? Bukankah kita memilih mereka karena itu?" gumam seorang ibu yang sedang duduk di warung nasi sederhana. "Kita harus bersabar," balas seorang bapak yang duduk di dekatnya, "mungkin program ini memerlukan waktu."

Tetapi waktu berlalu, dan janji itu tidak kunjung terlihat bentuknya. Para pembantu presiden mulai menghindari pertanyaan tentang makanan gratis dengan jawaban yang kian berputar-putar. Salah satu pembantu presiden bahkan sempat tertangkap kamera mengangkat bahu ketika ditanya soal itu, seolah tak tahu menahu lagi soal janji yang pernah diutarakan.

Namun, masyarakat negeri ini adalah masyarakat yang unik. Mereka mudah marah, tetapi juga mudah melupakan. Ketika kemarahan mencapai puncaknya, muncul saja isu baru yang segera mengalihkan perhatian, sebuah proyek megah yang diumumkan di tengah kota, seorang selebriti yang menikah dengan pesta meriah, atau isu impor yang tiba-tiba menyeruak.

Orang-orang pun mulai melupakan janji makanan gratis itu. Lagi pula, mereka sudah terbiasa kecewa. Mereka tahu betul, janji politik hanyalah bagian dari sandiwara yang harus dimainkan setiap lima tahun sekali. Jika bukan tentang makanan, bisa saja soal pendidikan, kesehatan, atau bahkan perbaikan jalan yang selalu jadi bahan obrolan.

Hingga suatu hari, seorang pria paruh baya bernama Pak Surya, yang bekerja sebagai penjual bubur keliling, muncul di televisi lokal. Dia diwawancarai oleh seorang reporter tentang janji makanan gratis yang dulu digaungkan. Dengan suara lelah tapi tegas, ia berkata, "Saya tidak butuh makanan gratis dari pemerintah. Selama ini, saya bisa bekerja dan mencari nafkah sendiri. Tapi janji adalah janji. Jika mereka berjanji akan memberikan makanan gratis, maka mereka harus menepatinya. Bukan karena kami tidak mampu, tetapi karena itu janji yang sudah mereka ucapkan dengan lantang."

Kata-kata Pak Surya viral di media sosial. Orang-orang mulai menyoroti kembali janji itu, mempertanyakan di mana Menteri Urusan Makanan Gratis yang pernah dijanjikan. Mereka mengirim petisi, surat terbuka, dan menyelenggarakan aksi di alun-alun kota dengan membawa panci dan wajan sebagai simbol.

(ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)
(ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)

Namun, di balik gemuruh massa itu, para pejabat hanya duduk nyaman di kursinya, tersenyum kecil, dan menunggu badai berlalu. Mereka tahu persis watak rakyatnya: mudah lupa. Kemarahan yang begitu menyala-nyala akan padam dengan sendirinya, dan ketika itu terjadi, semua janji yang tak tertepati akan terkubur dalam keheningan. Dan memang benar, perlahan-lahan, orang-orang mulai menyerah. Protes berkurang, dan isu-isu baru datang menggantikan.

Sementara itu, di sudut kota yang sepi, Pak Surya tetap menjalani rutinitasnya. Setiap pagi, ia mendorong gerobak buburnya, menyusuri gang-gang sempit dengan senyuman lelah. Meski janji makanan gratis tidak pernah menjadi kenyataan, ia tetap menyiapkan semangkuk bubur tambahan setiap harinya, bukan untuk dijual, tapi untuk diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan, tanpa janji, tanpa syarat.

Ia sadar, Menteri Urusan Makanan Gratis mungkin tak akan pernah ada, tapi bukan berarti masyarakat harus berhenti berbagi. Sebab, ia percaya, janji yang paling berarti adalah janji yang kita buat pada diri sendiri untuk tetap peduli, meski yang lain lupa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun