Kopi Selamat Datang di Meja Rakyat
Dalam keheningan pagi yang terselubung aroma kopi, warung kecil di pojok kota itu tiba-tiba menjadi saksi bagi janji-janji yang pernah terucap. Di meja panjang yang dipenuhi cangkir-cangkir hitam, beberapa pemuda dan orang tua meyaksikan di layar TV presiden dan wakil presiden baru duduk dengan senyum tipis, seolah menyambut harapan yang masih mengepul bersama uap kopi. Pertanyaan demi pertanyaan mulai berhembus, serupa angin yang membawa bisik-bisik tentang makan siang gratis yang entah akan tiba atau sekadar angan. Di sinilah segalanya dimulai, dari secangkir kopi yang pahitnya tak mudah disulap menjadi manis, dan janji yang kembali mengudara, menggantung tanpa kepastian.
***
Warung kopi kecil yang amat ramai itu menjadi tempat berkumpulnya para pelanggan setia. Bukan tempat yang mewah, hanya deretan kursi kayu dan meja panjang yang dipenuhi cangkir-cangkir kopi hitam. Di pojok ruangan, sebuah televisi tua bergantung di dinding, layarnya menampilkan gambar pelantikan presiden dan wakil presiden baru yang disaksikan dengan saksama oleh pengunjung warung. Asap rokok dan aroma kopi bercampur dengan harapan dan kecemasan yang melayang di udara, menyelimuti warung itu dalam suasana yang tak menentu.
Pak Badu, salah satu pelanggan tetap, mengaduk kopinya dengan perlahan, memandang ke arah televisi. "Nah, itu dia. Akhirnya dilantik juga," gumamnya sambil menggeleng pelan. "Tapi, apa yang akan benar-benar berubah?"
Seorang pemuda di sampingnya, Arman, tertawa sinis. "Mereka bilang akan ada makan siang gratis, Pak. Tapi kapan terakhir kali kita benar-benar dapat makan siang tanpa bayar?" tanyanya dengan nada sarkastik. Suaranya terdengar getir, seolah kelelahan menanti janji-janji yang sudah tak terhitung jumlahnya.
"Ah, janji itu mudah," kata Pak Badu, menyela. "Yang sulit itu melakukannya." Ia meneguk kopinya, rasa pahitnya serasa menyatu dengan keputusasaan yang sudah lama terpendam. Di layar, presiden baru berpidato dengan lantang, menyampaikan visi masa depan yang gemilang, seperti sebuah mimpi indah yang tak pernah benar-benar terwujud.
Di tengah ruangan, Bu Siti, seorang pedagang sayur yang selalu mampir setelah pasar pagi, ikut menyuarakan keluhannya. "Kalau semua janji itu benar, mestinya hidup kita ini sudah berubah sejak lama. Tapi lihat saja, harga-harga naik terus, sementara kita tetap di sini, di warung ini, minum kopi yang makin pahit." Matanya menatap kosong ke arah layar, seolah mencari jawaban yang tidak akan pernah datang.
Arman yang kopinya hampir habis mengambil pena yang biasa dipakai bu Siti untuk menulis yang bon sayurnya. Ia menulis puisi yang tak pernah ia bacakan:
Di pagi yang baru, cangkir kopi kita sapa
Selamat datang, pemimpin baru di meja rakyat terbuka,
Harapan menyatu dalam uap yang menguar, tak lagi hampa.
Pertanyaan berhembus tentang makan siang gratis,
"Adakah hidangan untuk semua, bukan hanya janji manis?"
Presiden tersenyum, mengaduk kopi, menjawab tak tergesa.
"Kopi ini pahit, tapi bisa kita tambahkan gula,
Tak semua bisa datang seketika, kita bangun perlahan bersama,
Mari kita pastikan, tiap tegukan punya rasa yang adil dan nyata."
Diskusi masih ramai terdengar di antara mereka. Hampir tidak ada yang mendengarkan karena masing-masing sibuk dengan harapannya yang terujar di antara mereka.
"Janji makan siang gratis, katanya. Tapi bahkan untuk beli nasi bungkus saja, aku harus mengencangkan ikat pinggang," timpal Arman lagi. Dia mengembuskan asap rokoknya, membentuk lingkaran-lingkaran yang perlahan-lahan memudar seperti janji-janji yang sering terlontar dari bibir para pemimpin.
Di layar televisi, suara presiden terus berkumandang, seolah menjawab langsung semua keluhan itu, namun dengan kata-kata yang terdengar jauh dan berjarak. Para pengunjung warung mendengarkannya dengan setengah hati. Bagi mereka, semua itu tidak lebih dari retorika yang sudah sering mereka dengar. Kata-kata indah yang mengalir bak puisi, tapi tak pernah cukup untuk mengisi perut yang lapar.
"Lihat, dia bicara soal ekonomi yang akan tumbuh dan kesejahteraan untuk semua," kata Pak Badu dengan suara pelan. "Tapi apa artinya bagi kita yang hanya ingin harga kopi tidak naik lagi?"
Bu Siti hanya mengangguk. "Yang kita butuhkan itu sederhana, Pak. Kalau memang ada perubahan, ya tunjukkan. Jangan cuma bicara." Suaranya terdengar lelah, seperti seseorang yang sudah lama berhenti berharap.
Diskusi berlanjut, suara-suara yang beradu di warung kecil itu menggema bersama bunyi pidato di televisi. Para pelanggan berbicara tentang janji-janji yang dulu pernah diucapkan dengan penuh keyakinan, namun kenyataannya masih menjadi angan-angan. Di luar, matahari sudah mulai naik tinggi, sementara warung tetap dipenuhi percakapan yang tak ada habisnya.
Televisi tua itu masih menyala, namun tak ada jawaban pasti yang keluar dari sana. Hanya wajah pemimpin baru yang tersenyum penuh percaya diri, menyampaikan harapan-harapan baru. Tapi bagi rakyat yang duduk di warung itu, semuanya hanya sebatas kata-kata yang berlalu begitu saja. Mereka tahu, seperti biasa, pertanyaan-pertanyaan mereka tak akan pernah mendapat jawaban. Seperti tegukan kopi pahit yang setiap hari diminum tanpa tahu kapan manisnya akan datang.
Di sudut warung, Pak Badu menatap cangkirnya yang hampir kosong. "Kita selalu menunggu, berharap ada yang berubah," katanya lirih. "Tapi di sini, di warung ini, rasa kopi tetap sama. Pahit." Ia meletakkan uang receh di atas meja, bangkit dari tempat duduknya, dan melangkah keluar, meninggalkan warung kecil itu yang perlahan-lahan kembali sunyi.
Dan televisi tua itu masih berbicara, menyuarakan janji-janji yang menggantung di udara, seperti uap kopi yang menguap, lenyap tanpa bekas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H