"Janji makan siang gratis, katanya. Tapi bahkan untuk beli nasi bungkus saja, aku harus mengencangkan ikat pinggang," timpal Arman lagi. Dia mengembuskan asap rokoknya, membentuk lingkaran-lingkaran yang perlahan-lahan memudar seperti janji-janji yang sering terlontar dari bibir para pemimpin.
Di layar televisi, suara presiden terus berkumandang, seolah menjawab langsung semua keluhan itu, namun dengan kata-kata yang terdengar jauh dan berjarak. Para pengunjung warung mendengarkannya dengan setengah hati. Bagi mereka, semua itu tidak lebih dari retorika yang sudah sering mereka dengar. Kata-kata indah yang mengalir bak puisi, tapi tak pernah cukup untuk mengisi perut yang lapar.
"Lihat, dia bicara soal ekonomi yang akan tumbuh dan kesejahteraan untuk semua," kata Pak Badu dengan suara pelan. "Tapi apa artinya bagi kita yang hanya ingin harga kopi tidak naik lagi?"
Bu Siti hanya mengangguk. "Yang kita butuhkan itu sederhana, Pak. Kalau memang ada perubahan, ya tunjukkan. Jangan cuma bicara." Suaranya terdengar lelah, seperti seseorang yang sudah lama berhenti berharap.
Diskusi berlanjut, suara-suara yang beradu di warung kecil itu menggema bersama bunyi pidato di televisi. Para pelanggan berbicara tentang janji-janji yang dulu pernah diucapkan dengan penuh keyakinan, namun kenyataannya masih menjadi angan-angan. Di luar, matahari sudah mulai naik tinggi, sementara warung tetap dipenuhi percakapan yang tak ada habisnya.
Televisi tua itu masih menyala, namun tak ada jawaban pasti yang keluar dari sana. Hanya wajah pemimpin baru yang tersenyum penuh percaya diri, menyampaikan harapan-harapan baru. Tapi bagi rakyat yang duduk di warung itu, semuanya hanya sebatas kata-kata yang berlalu begitu saja. Mereka tahu, seperti biasa, pertanyaan-pertanyaan mereka tak akan pernah mendapat jawaban. Seperti tegukan kopi pahit yang setiap hari diminum tanpa tahu kapan manisnya akan datang.
Di sudut warung, Pak Badu menatap cangkirnya yang hampir kosong. "Kita selalu menunggu, berharap ada yang berubah," katanya lirih. "Tapi di sini, di warung ini, rasa kopi tetap sama. Pahit." Ia meletakkan uang receh di atas meja, bangkit dari tempat duduknya, dan melangkah keluar, meninggalkan warung kecil itu yang perlahan-lahan kembali sunyi.
Dan televisi tua itu masih berbicara, menyuarakan janji-janji yang menggantung di udara, seperti uap kopi yang menguap, lenyap tanpa bekas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H