Gelar Doktor Antara Prestasi Akademik dan Komoditas Murahan
Beberapa tahun terakhir ini, fenomena "mengejar" gelar doktor yang seolah-olah seperti "menjual dan membeli kacang goreng." Fenomena ini kian mencuat menjadi sebuah "budaya" terutama di kalangan tokoh dan politisi. Pertanyaan nakal yang bisa diajukan adalah "Mengapa mereka doyan sekali berburu gelar? Apakah supaya diakui sebagai yang pintar, pakar karena sudah "makan bangku sekolah" S3? Perjuangan menjadi doctor di program S3 kini bias maknanya menjadi sistem setor (uang) selesai? Gelar terbeli, kualitas akademis tergadaikan?
Gelar S3 (doctor) yang seharusnya mencerminkan pencapaian akademik dan dedikasi dalam penelitian ilmiah ini mulai kehilangan makna, tergerus oleh praktik-praktik yang menjadikan gelar tersebut sebagai alat prestise semata. Bagi sebagian individu yang benar-benar menekuni pendidikan tinggi dengan penuh perjuangan, fenomena ini merusak nilai dan pengorbanan yang telah mereka curahkan demi mencapai gelar doktor tersebut.
Tulisan sederhana ini mencoba untuk mengulas bagaimana komersialisasi gelar akademik memengaruhi persepsi publik terhadap pendidikan tinggi dan dampaknya terhadap kualitas intelektual bangsa.
Gelar Doktor yang "Instan"
Dalam banya kesempatan, kita sering mendengar atau membaca berita tentang tokoh publik atau politisi yang tiba-tiba memperoleh gelar doktor hanya dalam waktu singkat. Normalnya ada yang 3-4 tahun, kini bisa dicapai cukup dengan 1,5 tahun. Lagi-lagi pertanyaan nakal muncul: "Kapan mereka kuliah, tatap muka dengan dosen, mengajukan proposal, melakukan riset, menulis di jurnal ilmiah nasional atau internasional? Kapan mereka "dibantai" oleh dosen pembimbing berkaitan dengan cara berpikir dan bertindak ilmiah/akademis sebagai seorang calon doctor, yang siap "menelorkan atau melahirkan" sebuah teori atau ilmu baru?" Pertanyaan semacam ini, sampai rumput habis dibakar petani pun tetap tak ada jawaban.
Tiba-tiba kita membaca atau mendengar berita tentang undangan sidang terbuka untuk ujian doctor. Pejabat public sekelas menteri yang super sibuk kapan punya waktu kuliah, belajar dan mengerjakan tugas? Memang, meskipun secara formal semua persyaratan administratif terpenuhi, banyak yang meragukan kualitas dan keseriusan di balik pencapaian tersebut. Praktik ini sering kali melibatkan kerjasama dengan lembaga pendidikan yang kurang kredibel, atau bahkan universitas yang tidak memiliki reputasi akademik yang kuat, di mana gelar doktor diberikan secara cepat dengan proses yang dipertanyakan.
Motivasi di balik fenomena ini biasanya bukanlah dedikasi untuk meningkatkan kualitas keilmuan, melainkan untuk meningkatkan citra, mendongkrak popularitas, atau sekadar meraih status sosial tertentu. Ketika gelar doktor tidak lagi diperoleh melalui kerja keras dan penelitian yang mendalam, maka kesan bahwa gelar ini bisa "dibeli" mulai muncul. Hal ini menyebabkan penurunan nilai intrinsik dari gelar doktor itu sendiri, merusak citra akademik, dan menimbulkan kecurigaan publik terhadap pemegang gelar tersebut.
"Demam" gelar berderet itu semacam "pansos" alias panjat sosial gaya baru agar semakin dianggap ada, dianggap pintar dan hebat. Gelar berderet mungkin saja tidak berbanding lurus dengan sepak terjang dan dedikasinya pada upaya mencerdaskan bangsa. Karena bisa jadi orang semacam ini terlalu egois atau memfokuskan dirinya sebagai pusat perhatian (orang pintar baru) dan bukan menjadi pelayan masyarakat.
Di hadapan uang, yang instan bukan saja mie gelas tetapi juga gelar. Luar bias ajika fenomena semacam ini berkembang menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi kebudayaan. Lalu untuk apa kita sekolah susah-susah kalau gelar saja bisa diobral murah?
Dampak Terhadap Akademisi Sejati
Bagi mereka yang benar-benar menekuni jalur pendidikan doktoral dengan segala tantangannya, fenomena ini merupakan pukulan telak. Mendapatkan gelar doktor yang sejati membutuhkan waktu, usaha, dan pengorbanan besar, baik fisik maupun mental. Bahkan yang tragis, saking kerasnya berusaha banyak dosen yang berjuang menyelesaikan S3-nya "lebih dulu" menyelesaikan tugas yang diberikan Sang Pemilik Kehidupan daripada dosen pembimbingnya. Karena banyak begadang untuk menyelesaikan disertasi, menjelang langkah terakhir hidupnya berakhir sebelum ia benar-benar mengakhiri disertasinya.
Para akademisi model ini menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk melakukan penelitian yang valid, menulis disertasi yang berkualitas, serta menghadapi proses evaluasi dan kritik dari para penguji yang kompeten. Bagi mereka, gelar doktor adalah hasil dari kerja keras dan dedikasi, bukan sekadar label untuk meningkatkan status sosial.
Dengan menjamurnya gelar doktor instan, pencapaian para akademisi sejati ini seolah-olah menjadi tidak berarti. Kualitas intelektual dan kontribusi ilmiah yang mereka berikan sering kali tenggelam di tengah sorotan media terhadap tokoh publik yang berhasil meraih gelar dalam waktu singkat. Akibatnya, rasa bangga terhadap pencapaian akademik mereka bisa terkikis, dan ini berpotensi menurunkan semangat para peneliti muda yang bercita-cita untuk menempuh pendidikan tinggi dengan sungguh-sungguh.
Pengaruh Terhadap Kualitas Pendidikan dan Intelektualitas Bangsa
Praktik komersialisasi gelar akademik memiliki dampak jangka panjang terhadap kualitas pendidikan di Indonesia. Ketika gelar akademik dapat dengan mudah diperoleh tanpa proses yang sesuai, standar pendidikan akan mengalami penurunan. Universitas yang seharusnya menjadi pusat keunggulan ilmiah dapat kehilangan reputasinya karena ikut terlibat dalam praktik-praktik semacam ini. Dampaknya, lulusan yang dihasilkan mungkin tidak memiliki kompetensi yang memadai, yang pada akhirnya dapat merugikan dunia kerja dan masyarakat secara luas.
Lebih dari itu, intelektualitas bangsa juga dipertaruhkan. Jika gelar doktor dijadikan sekadar alat prestise, maka penghargaan terhadap ilmu pengetahuan dan budaya membaca serta menulis yang kritis akan menurun. Generasi muda mungkin lebih tertarik untuk mengejar gelar demi status daripada mengejar ilmu demi pemahaman yang mendalam. Fenomena ini dapat memperlemah fondasi intelektual bangsa yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan global di masa depan.
Apa yang Harus Dilakukan?
Untuk mengatasi fenomena ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak. Pertama, lembaga pendidikan tinggi harus menegakkan standar yang ketat dalam proses penerimaan dan kelulusan program doktoral. Hanya penelitian yang berkualitas dan melalui proses evaluasi yang objektif yang layak mendapatkan gelar akademik.
Kedua, Pemerintah juga perlu melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap perguruan tinggi yang menawarkan program doktor, memastikan bahwa tidak ada penyalahgunaan atau praktik komersialisasi gelar.
Dan yang ketiga, masyarakat perlu diajak untuk lebih menghargai proses intelektual dan tidak hanya melihat gelar sebagai simbol status. Peran media juga penting untuk menyoroti pencapaian akademis yang sejati daripada hanya menyorot gelar yang diperoleh tokoh-tokoh tertentu. Dengan demikian, budaya menghargai pendidikan yang berkualitas dapat tumbuh dan berkembang.
Fenomena komersialisasi gelar doktor mengancam esensi pendidikan tinggi dan mencederai mereka yang menempuh jalur akademik dengan penuh perjuangan. Gelar doktor seharusnya bukan hanya sekadar label, tetapi bukti dari dedikasi, ketekunan, dan kontribusi intelektual seseorang terhadap ilmu pengetahuan. Kita perlu berkomitmen untuk mengembalikan makna sejati dari gelar ini, sehingga penghargaan terhadap ilmu pengetahuan tetap tinggi, dan kualitas pendidikan di Indonesia dapat terus ditingkatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H