Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Bubur Rindu Tanpa Kuah

12 Oktober 2024   17:20 Diperbarui: 12 Oktober 2024   17:56 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beni mengangguk pelan, mendapati dirinya kembali terseret dalam nostalgia. "Aku nggak tahu kenapa tiba-tiba datang ke sini lagi. Sudah bertahun-tahun aku nggak makan bubur di sini. Rasanya... kosong."

Rina duduk di depan Beni, memesan semangkuk bubur untuk dirinya. Mereka mulai berbicara tentang masa lalu, tentang permainan mereka saat kecil, tentang bubur jagung nenek Rina yang dulu sering dibuatkan untuk mereka berdua. Waktu seolah berhenti, membiarkan mereka mengurai kembali benang-benang kenangan yang nyaris terlupakan.

"Masih ingat bubur jagung nenek, kan?" tanya Rina tiba-tiba.

Beni tersenyum kecil, "Tentu saja. Itu bubur terenak yang pernah aku makan."

"Lucu, ya. Aku selalu berpikir, kenapa nenek dulu lebih sering membuat bubur jagung daripada bubur ayam seperti ini. Ternyata, dia bilang padaku waktu itu... karena bubur jagung adalah bubur kenangan. Bubur yang mengingatkan nenek pada masa-masa susah, tapi penuh kebersamaan."

Beni terdiam. Kata-kata Rina menyentuh sesuatu yang dalam di dalam dirinya. Bubur ini, meskipun sederhana, ternyata menyimpan makna lebih dari sekadar makanan. Seperti yang Ayah katakan dulu, ada orang yang menambah banyak rasa untuk buburnya, dan ada yang membiarkannya tetap sederhana. Namun, tanpa disadari, keduanya sama-sama membawa kenangan yang tak terkatakan.

Saat mereka selesai makan, Rina mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah mangkuk kecil berisi bubur jagung yang diselimuti aroma harum daun pandan. "Ini, aku buat sendiri. Mungkin rasanya nggak akan sama seperti buatan nenek, tapi aku ingin kamu mencoba."

Beni menerima mangkuk itu, dan saat ia menyuapkan bubur jagung ke dalam mulutnya, ia merasa seperti terjatuh ke dalam ruang rindu yang tak terhingga. Ada rasa manis yang tak biasa, bukan hanya dari gula, tetapi dari kenangan yang tertelan bersama setiap sendoknya. Seperti meneguk masa lalu dan menyadari bahwa beberapa kenangan, betapapun pahit atau manisnya, tetap menjadi bagian dari diri kita.

"Aku nggak tahu, Rina," ujar Beni dengan suara bergetar. "Mungkin aku baru sadar bahwa bubur bukan hanya tentang kuah atau topping-nya. Kadang, bubur adalah tentang apa yang tertelan di dalamnya: rindu, kenangan, atau bahkan kehilangan."

Rina menatapnya dengan senyum yang lembut. "Iya, Beni. Bubur kadang menjadi ruang rindu yang tertelan... dengan atau tanpa kuah."

Mereka tertawa kecil, menikmati kehangatan kebersamaan yang langka itu. Dan, meskipun waktu terus berjalan, kenangan mereka tetap hidup, tertuang dalam semangkuk bubur yang sederhana, tetapi penuh makna.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun