Suatu pagi, Aldo memutuskan untuk menulis di Kompasiana. Ia duduk di depan laptopnya, jari-jarinya menggantung di atas keyboard, sementara pikirannya mengembara ke segala arah. Apa yang harus ia tulis? Cerita hidupnya? Pandangannya tentang dunia? Pengalaman pribadinya yang selama ini hanya menjadi rahasia?
Setelah beberapa saat berpikir, Aldo mulai menulis. Bukan tentang politik atau peristiwa besar, melainkan tentang dirinya sendiri -tentang masa lalunya, rasa takutnya, kebingungannya dalam menjalani hidup. Ia menuliskan segalanya, tanpa menyembunyikan apapun. Tulisannya mungkin sederhana, tetapi setiap kata yang ia ketik terasa seperti beban yang terangkat dari pundaknya.
Ia menulis tentang ibunya yang selalu memberikan dukungan di saat ia merasa hilang arah, tentang teman-temannya yang perlahan-lahan menjauh setelah karirnya meredup, dan tentang malam-malam panjang di mana ia hanya bisa memandang kosong ke luar jendela, bertanya-tanya kapan kehidupannya akan berubah. Aldo tidak peduli apakah ada yang membaca atau tidak. Yang ia tahu, ia merasa lebih ringan setelah menuliskannya.
Setelah menyelesaikan tulisannya, ia mengklik tombol "publikasi" dan menghela napas panjang. Perasaan lega melingkupinya, meskipun ada sedikit keraguan, "Apakah ada yang akan peduli?" Namun, tak lama setelah itu, komentar mulai bermunculan. Orang-orang berterima kasih karena Aldo berani berbagi cerita yang begitu personal. Mereka mengatakan bahwa mereka bisa merasakan dan memahami perasaan Aldo, dan bahkan beberapa di antara mereka juga mengalami hal serupa.
Aldo tersenyum kecil. Ternyata, ada orang-orang di luar sana yang merasakan hal yang sama, dan dengan berbagi kisah, mereka menjadi terhubung -meskipun hanya lewat kata-kata. Di situlah, Aldo menyadari bahwa Kompasiana bukan hanya tempat untuk menulis dan membaca. Kompasiana adalah tempat di mana orang-orang bisa merasa dilihat, didengar, dan dipahami. Tempat di mana kata-kata bisa mengubah hidup seseorang, seperti yang telah ia rasakan sendiri.
Sebelum mengakhiri tulisannya, Aldo membuat sebuah puisi atas kehadiran Kompasiana dalam hidupnya, kemudian dia muat seperti di bawah ini:
Kompasiana, Saksi Kata-Kata
Di layar biru kau temukan jiwa,
Kata-kata berbaris, menari indah,
Di sana cerita-cerita hidup bermuara.
Tak ada tembok yang memisah kita,
Hanya layar, tetapi hati berbaur,
Kompasiana, tempat hati bertemu tanpa suara.
Kini kata-kata tak lagi sekadar tanda,
Mereka adalah lentera, cahaya yang terpancar,
Menerangi jiwa, menyembuhkan luka yang dalam.
***