Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tikus Mati di Pematang Sawah

6 Oktober 2024   21:47 Diperbarui: 6 Oktober 2024   22:30 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TIKUS MATI DI PEMATANG SAWAH

(Asal Nostalgia Saja)

Menjelang peralihan pemerintahan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden (terpilih) Prabowo Subianto saya ingin memosting ulang sebuah tulisan lama saya tentang "Tikus Mati Pematang Sawah". Ini sebuah ironi bagi kita negara agrarian yang bergantung pada import hampir dalam segala kebutuhan pokok. Ada apa yang salah dengan negara ini?

Awal tahun 80an, saat saya seharusnya sudah masuk Taman Kanak-Kanak, namun lebih menikmati tinggal bersama kakek dan nenek di sawah. Maklum pada tahun itu, di Leguderu, Boawae, Nagekeo (dulu masih bagian dari Kabupaten Ngada) belum ada TKK. Saat usia 6 tahun sudah diantar Bapak ke sekolah, tetapi dipulangkan karena katanya tangan kanan saya belum bisa menyentuh telinga kiri. 

Lucu juga ya, pada waktu itu untuk menentukan usia yang pantas masuk kelas 1 SD adalah panjangnya tangan untuk menyentuh daun telinga, entah yang kiri atau yang kanan sama saja. 

Tahun berikutnya saya masih sempat mengalami yang sama, tetapi akhirnya diprotes oleh Bapak awal tahun ajaran tahun 1981 usia saya sudah 7 tahun. Jadi meski tangan masih pendek tapi usia saya sudah panjang (hehe maksudnya sudah sesuai dengan syarat minimal untuk masuk SD).

Kembali ke pengalaman tinggal di sawah bersama kakek dan nenek di bawah kaki gunung Ebulobo yang subur dan hijau. Ya saya inggal dan hidup bersama nenek serta bapak kecil dan mama kecil, karena bapak dan mama serta adik-adik sudah ikut Bapak ke Malapedho, Aimere untuk mengajar di SMP Pancakarsa. 

SMP yang kemudian menjadi tempat saya menimba ilmu di bawah bimbingan dan tempelengan Bapak sendiri.

Tinggal dengan kakek dan nenek pada waktu itu perut selalu kenyang. Bagaimana tidak. Tidur di lumbung padi, sementara di sawah yang panjangnya hampir dua kali lapangan sepak bola sudah mulai berbulir. 

Sementara di bagian timur sawah ada rimbunan pohon pisang aneka jenis, ada terong belanda, markisa, jambu biji, advokat, nangka. Pisang saja sekali panen bisa lebih dari 5 tandan. Belum lagi markisa, jambu dan advokat. Pokoknya kenyang deh.

Yang tidak kalah menarik adalah. Setiap pagi saat bangun tidur, di banyak pematang sawah bergantungan tikus yang bunuh diri karena masuk perangkap Bapa kecil alias kena "ghate dheke"/jerat tikus dari bambu dan tali ijuk. 

Tikus-tikus yang serakah mati mengenaskan di pematang-pematang sawah. Makanan berlimpah (padi yang mulai berisi) tetapi yang dicarinya justru di tempat-tempat jebakan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun