Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Quo Vadis Pendidikan Indonesia, Sebuah Pertanyaan Pasca Pergantian Rezim

5 Oktober 2024   17:35 Diperbarui: 5 Oktober 2024   19:03 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi hasil olahan GemAIBot, dokpri)

Quo Vadis Pendidikan Indonesia: Sebuah Pertanyaan Pasca Pergantian Rezim*

Pergantian kekuasaan dalam politik sering kali membawa angin perubahan bagi banyak sektor kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Sebentar lagi, Indonesia akan memasuki era baru dengan Presiden Prabowo Subianto yang akan menggantikan Presiden Joko Widodo. Pertanyaan besar yang menghantui banyak pihak, terutama pelaku pendidikan (seperti saya), adalah: Akankah kurikulum pendidikan, yang saat ini berada di bawah bendera Kurikulum Merdeka, akan diganti lagi?

Pendidikan di Indonesia telah lama mengalami dinamika kebijakan yang membuat sekolah, siswa, guru, dan orang tua seakan menjadi pelaksana harian tanpa kuasa untuk menolak. Tiap pemerintahan seakan datang dengan cetak biru baru, mencoba menawarkan solusi yang dianggap lebih sesuai dengan visi pembangunan bangsa. Namun, seringkali perubahan tersebut justru menciptakan ketidakstabilan dan kebingungan, terutama bagi para pelaku di lapangan. Lalu pertanyaan menusuk lagi yang bisa diajukan adalah Apakah para penyusun membuatnya sesuai kebutuhan masyarakat atau kebutuhan yang ada dalam pikiran mereka sendiri?

Pendidikan Sebagai Alat Politik

Dalam sejarah pendidikan Indonesia, perubahan kurikulum sering kali berhubungan dengan kebijakan politik yang ingin menekankan agenda tertentu. Era Orde Baru misalnya, menggunakan pendidikan sebagai alat untuk mempromosikan stabilitas dan pembangunan ekonomi. Lalu, reformasi pasca 1998 membawa nafas kebebasan dengan berbagai inovasi, termasuk dalam hal kurikulum. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka yang dipelopori pemerintahan Joko Widodo semuanya lahir dalam konteks politik yang berbeda-beda.

Namun, pertanyaan pentingnya adalah: Apakah pendidikan harus selalu dikaitkan dengan politik? Mengapa kebijakan pendidikan tidak diupayakan agar lebih stabil, berkesinambungan, dan berorientasi jangka panjang, terlepas dari siapa yang berkuasa? Ketidakpastian dan perubahan yang terus-menerus ini berdampak pada kualitas pendidikan, terutama pada kesiapan sekolah, guru, dan siswa untuk beradaptasi.

Kurikulum Merdeka: Sebuah Peluang atau Ujian Baru?

Kurikulum Merdeka yang diterapkan oleh pemerintahan Jokowi dianggap sebagai salah satu langkah reformasi pendidikan yang penting, memberikan kebebasan lebih kepada guru dan sekolah untuk menyesuaikan pembelajaran sesuai kebutuhan siswa. Pendekatan ini dinilai lebih humanis, fleksibel, dan relevan dengan tuntutan zaman, terutama di era digital. Namun, meski ide dasarnya baik, implementasi Kurikulum Merdeka masih mengalami banyak kendala, mulai dari kesiapan infrastruktur hingga kapasitas guru yang belum merata.

Kini, dengan pergantian pemerintahan, muncul kekhawatiran bahwa kurikulum ini bisa jadi akan diubah atau bahkan ditinggalkan. Pergantian kebijakan ini akan membawa kerugian besar karena sekolah, siswa, dan guru harus memulai dari awal lagi, belajar menyesuaikan diri dengan sistem baru. Jika perubahan terjadi setiap lima hingga sepuluh tahun sekali, kapan pendidikan Indonesia bisa benar-benar stabil dan maju?

Nasib Guru dan Sekolah: Pelaksana Tanpa Suara?

Peran guru dan sekolah dalam dinamika perubahan ini seringkali terabaikan. Mereka adalah garda terdepan pendidikan, namun sayangnya, suaranya jarang didengar dalam pengambilan kebijakan. Guru dituntut untuk terus beradaptasi dengan kebijakan baru, tanpa selalu diberikan dukungan yang memadai. Mereka diharuskan mengikuti pelatihan dan sertifikasi yang sering berubah sesuai dengan kurikulum terbaru. Tidak sedikit dari mereka yang merasa lelah dengan tuntutan perubahan tanpa arah yang jelas. Belum lagi mereka harus sibuk dengan kegiatan lain agar "dapur" mereka tetap mengepul karena apa yang mereka terima (khususnya para guru honorer dan guru tidak tetap) tidak sebanding dengan yang mereka berikan.

Selain itu, sekolah sering kali menjadi tempat ujian implementasi berbagai kebijakan baru. Infrastruktur yang tidak merata, sumber daya yang terbatas, hingga kurangnya pendampingan teknis membuat kebijakan kurikulum yang baru seringkali tersendat dalam penerapannya.

Quo Vadis Pendidikan Indonesia?

Pertanyaan besar "Quo Vadis Pendidikan Indonesia?" tidak dapat dijawab dengan mudah. Pergantian rezim tidak seharusnya menjadi alasan untuk terus-menerus mengutak-atik kebijakan pendidikan tanpa perencanaan yang matang. Pendidikan harus dipandang sebagai investasi jangka panjang, bukan sebagai alat politik yang diubah-ubah sesuai dengan visi pemerintah yang berkuasa.

Yang dibutuhkan adalah kebijakan pendidikan yang stabil, berkelanjutan, dan melibatkan semua pemangku kepentingan -terutama para guru, siswa, dan orang tua. Pendidikan harus menjadi agenda bersama, melampaui sekat-sekat politik. Jika tidak, pendidikan Indonesia akan terus menjadi ajang eksperimen tanpa arah yang jelas, di mana sekolah, siswa, guru, dan orang tua hanya menjadi pelaksana harian yang tidak memiliki kuasa untuk menolak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun