MARHAENISME SEBAGAI KONSEP STUDI BANDING
"Sebagai Aria Buma-putera, jang lahirnja dalam zaman perdjoangan, maka INDONESIA-MUDA inilah tjahaja hari pertamaa-tama dalam zaman jang rakjat-rakjat Asia, lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnja. Tak senang dengan nasib-ekonominja, tak senang dengan nasib-politiknja, tak senang dengan segala nasib jang lain-lainnja"
Kutipan aliena pertama dari tulisan Bung Karno dalam buku "Dibawah Bendera Revolusi" (hal 1) di atas, terasa sangat aktual dewasa ini. Ya bangsa yang sedang menuju Indonesia Emas justru sedang tidak baik-baik saja nasibnya, sedang kembali ke masa-masa sulit penerapan hukum, ekonomi dan politiknya. Sejak tahun 1920-an Bung Karno seolah menerawang tentang nasib bangsanya kelak. Konteks perjuangan memang beda, tetapi rekonstruksinya "seakan dj vu" dengan masa itu. Kala itu hukum diatur dan diubah menurut kehendak penguasa Hindia Belanda agar para pejuang muda seperti Bung Karno, Tan Malaka, dan kawan-kawan tidak sering tampil dan menarik simpati rakyat. Bedanya sekarang, hukum diubah agar anak muda semakin tampil ke depan, tanpa harus perjuangan dan penggemblengan politis yang berliku.
Para pemuda masa itu, termasuk Soekarno, terdorong oleh berbagai faktor untuk terlibat dalam perjuangan kemerdekaan bangsanya. Mereka tidak punya garansi melalui celah undang-undang agar bisa maju sebagai pemimpin muda. Mereka tampil karena terinspirasi oleh gagasan-gagasan pergerakan nasionalis di dunia, seperti nasionalisme di India, dan pemikiran-pemikiran tentang demokrasi, keadilan sosial, dan hak asasi manusia. Mereka berjuang bukan untuk meneruskan "jalan empuk" yang diberi oleh Hindia Belanda. Mereka juga punya semangat dan keyakinan yang kuat dalam perjuangan kemerdekaan, bukan menunggu penguasa mengubah undang-undang. Mereka punya legitimasi moral yang tak tergoyahkan demi meraih kemerderkaan bagi bangsanya. Top of Form
Marhaenisme: Konsep Studi Banding Yang Relevan
Juni adalah bulan yang penting dalam sejarah politik Indonesia karena merupakan bulan kelahiran Bung Karno, (kelahiran Pancasila) salah satu pendiri Republik Indonesia dan penggagas Pancasila sebagai dasar negara. Selain itu, konsep Marhaenisme yang "digagas" oleh Bung Karno sejak tahun 1920-an di Bandung juga menjadi bahasan yang relevan dalam konteks politik kekinian, yang kian terbangun dari menara gading "perdinastian" politis.
Bung Karno dihadapkan pada tugas berat untuk mempersatukan bangsa yang heterogen dan beragam. Ia juga mengembangkan konsep Pancasila yang menggabungkan nilai-nilai universal seperti keadilan sosial, demokrasi, ketuhanan yang maha esa, persatuan Indonesia, dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Selain Pancasila, Bung Karno juga mendukung konsep Marhaenisme yang menekankan pentingnya mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi melalui redistribusi sumber daya yang adil. Konsep ini berasal dari kata "Marhaen" yang berarti "orang kecil", yang pada hakikatnya mendukung kesejahteraan rakyat kecil dan kaum miskin. Marhaenisme menginspirasi kebijakan pembangunan nasional yang dilakukan di Indonesia pada masa itu.
Marhaenisme adalah konsep politik yang diperkenalkan oleh Soekarno, konsep perjumpaan antara pemimpin dan rakyatnya. Konsep ini menekankan pentingnya pemimpin untuk terlibat langsung dengan rakyatnya, menyapa mereka, dan memahami kondisi serta kebutuhan mereka secara langsung agar dapat lebih baik memahami aspirasi, masalah, dan kebutuhan rakyat. Dari interaksi ini, diharapkan pemimpin dapat mengambil kebijakan yang relevan dengan kebutuhan rakyat (tidak seperti polemik UKT dan Tapera). Marhaenisme menekankan bahwa kebijakan politik harus berakar pada kehidupan rakyat jelata, dan pemimpin harus berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan mereka.
Dalam konteks Marhaenisme, Soekarno mengusung konsep "Pemerintah dari, oleh, dan untuk rakyat", yang menekankan bahwa pemerintah harus mewakili kepentingan rakyat dan bertindak untuk kepentingan mereka. Konsep ini memainkan peran penting dalam pemikiran politik Soekarno dan dalam pembentukan negara Indonesia pasca-kemerdekaan. Selain itu, dalam konteks politik perjumpaan, ide-ide Bung Karno tentang Pancasila dan Marhaenisme dapat menjadi dasar untuk membangun hubungan antara golongan yang berbeda dalam masyarakat. Dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dan konsep Marhaenisme, negara dapat menciptakan kesetaraan dan keadilan sosial sehingga seluruh rakyat Indonesia dapat merasakan manfaat dari pembangunan nasional.
PR bagi Para Wakil Rakyat Periode 2024-2029 dan Presiden/Wakil Presiden Terpilih
Menyongsong periode baru pemerintahan dan parlemen 2024-2029, para wakil rakyat serta presiden dan wakil presiden terpilih menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama kaum Marhaen -golongan rakyat kecil yang seringkali terpinggirkan dalam proses pembangunan. Kaum Marhaen ini, yang menjadi simbol perjuangan Bung Karno dalam Marhaenisme, membutuhkan perhatian khusus agar pembangunan nasional tidak hanya dinikmati oleh segelintir golongan elit, tetapi juga oleh mayoritas rakyat yang hidup dalam kondisi ekonomi menengah ke bawah.
Langkah-langkah yang Perlu Ditempuh
Pertama, Penguatan Kebijakan Redistribusi Kesejahteraan. Para wakil rakyat dan pemerintah harus merumuskan kebijakan yang lebih berfokus pada redistribusi kesejahteraan. Kebijakan seperti subsidi yang tepat sasaran, peningkatan akses terhadap layanan pendidikan, kesehatan, dan perumahan layak, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui UMKM harus menjadi prioritas. Program-program ini dapat diimplementasikan dengan mengacu pada semangat Marhaenisme yang menitikberatkan pada pengentasan kemiskinan dan peningkatan taraf hidup rakyat kecil.
Kedua, Penegakan Hukum dan Anti-Korupsi. Menegakkan hukum dengan adil dan memerangi korupsi yang merampas hak-hak kaum Marhaen harus menjadi agenda utama. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan sering kali menjadi penghambat distribusi kekayaan yang adil. Maka, komitmen dalam memberantas korupsi di berbagai lini pemerintahan akan membantu memastikan bahwa anggaran negara digunakan sesuai dengan kebutuhan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir elit.
Ketiga, Penyusunan Undang-Undang yang Memihak Rakyat Kecil. PR besar bagi anggota legislatif periode ini adalah memastikan bahwa undang-undang yang disahkan benar-benar memihak rakyat kecil. Legislasi yang pro-rakyat seperti UU Ketenagakerjaan yang melindungi buruh, UU Agraria yang melindungi hak atas tanah kaum petani, dan kebijakan fiskal yang progresif untuk menekan ketimpangan harus diprioritaskan. Mereka perlu menghindari kebijakan yang cenderung menguntungkan kelompok elite bisnis atau politik yang dapat memperlebar jurang ketimpangan.
Keempat, Studi Lapangan dan Kedekatan dengan Rakyat. Wakil rakyat harus mencontoh metode studi lapangan ala Bung Karno dengan terjun langsung ke masyarakat, mendengarkan suara rakyat kecil, dan memahami permasalahan mereka. Kunjungan-kunjungan ini bukan sekadar formalitas, tetapi kesempatan untuk menyerap aspirasi rakyat dan menjadikannya basis penyusunan kebijakan yang konkret. Rakyat harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, bukan hanya sekadar menjadi objek kebijakan.
Kelima, Memperkuat Program Pengembangan Desa dan Daerah Terpencil. Pembangunan infrastruktur dan program pengembangan ekonomi yang berfokus pada desa-desa dan daerah terpencil harus diperluas dan ditingkatkan. Kaum Marhaen yang banyak berada di pedesaan memerlukan akses yang lebih baik terhadap teknologi, pendidikan, dan pasar. Dengan begitu, mereka dapat berpartisipasi lebih aktif dalam roda ekonomi nasional dan mengurangi ketergantungan pada pusat-pusat ekonomi yang kerap dikuasai oleh segelintir golongan.
Keenam, Keseimbangan antara Pertumbuhan Ekonomi dan Keadilan Sosial. Pemerintahan yang baru harus mencari keseimbangan antara mengejar pertumbuhan ekonomi dan memastikan keadilan sosial. Pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai dengan distribusi kekayaan yang merata akan semakin memperlebar ketimpangan. Dalam hal ini, kebijakan yang inklusif, seperti pajak progresif dan insentif bagi perusahaan yang memberdayakan kaum miskin, harus diperhatikan.
Melalui langkah-langkah ini, diharapkan pemerintahan baru bersama wakil rakyat periode 2024-2029 dapat memperjuangkan nasib kaum Marhaen dengan lebih serius, menjadikan keadilan sosial bukan hanya jargon, tetapi kenyataan yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Â
Alfred B. Jogo Ena
Editor Senior, tinggal di Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H