Bu Ratna merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar sakit fisik. Setelah mendapatkan izin dari ibunya, Bu Ratna masuk ke kamar Farhan. Anak itu terbaring di tempat tidur, wajahnya pucat dan matanya tampak hampa. Bu Ratna duduk di samping tempat tidur Farhan dan mengusap lembut bahunya.
"Farhan, Ibu tahu kamu sedang tidak baik-baik saja," kata Bu Ratna dengan lembut. "Kamu tidak sendiri. Apa yang terjadi di sekolah? Kamu bisa bercerita pada Ibu."
Perlahan-lahan, Farhan menangis. Tangis yang sudah lama dia tahan akhirnya pecah. Dengan suara bergetar, dia mulai menceritakan semua yang dia alami. Dari ejekan hingga kekerasan yang dia terima setiap hari dari Rio dan teman-temannya. Bu Ratna mendengarkan dengan sabar, hatinya perih mendengar setiap detail kekerasan yang dialami Farhan.
"Ibu akan bantu, Nak," ucap Bu Ratna tegas. "Ibu tidak akan biarkan kamu terus menderita seperti ini."
Setelah percakapan itu, Bu Ratna tidak tinggal diam. Dia segera melapor kepada kepala sekolah, memanggil Rio dan teman-temannya, dan melakukan mediasi dengan melibatkan orang tua mereka. Rio, yang biasanya penuh percaya diri, terlihat terpojok di hadapan kepala sekolah dan orang tuanya. Dia mencoba menyangkal, tapi ada saksi lain yang akhirnya berani bersuara. Teman-teman Farhan yang dulu acuh, kini ikut angkat bicara setelah melihat keberanian Bu Ratna.
Proses mediasi berjalan tegang, tapi di akhir, Rio dan teman-temannya diminta untuk meminta maaf kepada Farhan di hadapan semua siswa. Itu bukan proses yang mudah bagi Rio. Di mata siswa lain, dia adalah bintang sekolah, namun kini, dia harus mengakui kesalahannya. Di hadapan seluruh kelas, Rio berdiri dengan gugup.
"Aku minta maaf, Farhan," ucap Rio, suaranya pelan, namun terdengar ke seluruh ruangan. "Aku tahu apa yang kulakukan salah, dan aku tidak bisa mengulanginya lagi."
Farhan tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatap Rio dengan mata yang masih menyimpan luka. Meski Rio telah meminta maaf, rasa sakit itu tidak mudah hilang begitu saja.
Hari demi hari berlalu. Perlahan-lahan, suasana sekolah berubah. Kepala sekolah mulai memperkuat program pencegahan kekerasan, mengadakan pelatihan anti-bullying untuk siswa dan guru, serta menyediakan layanan konseling bagi siapa pun yang membutuhkannya. Teman-teman Farhan yang dulu hanya menonton dari kejauhan, kini mulai menunjukkan dukungan. Beberapa di antaranya bahkan mengajaknya bergabung dalam kegiatan ekstrakurikuler yang lebih inklusif.
Suatu siang, setelah berbulan-bulan sejak kejadian itu, Farhan duduk di bawah pohon di halaman sekolah. Kali ini, dia tidak sendirian. Ada beberapa teman yang duduk bersamanya, berbagi cerita dan tertawa. Mereka membicarakan banyak hal---tentang pelajaran, tentang hobi, tentang masa depan.