MEMUTUS MATA RANTAI KEKERASAN SEJAK AWAL
Kekerasan di sekolah memang membuat banyak orang bertanya-tanya: "Bagaimana mungkin hal seperti itu terjadi?" Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman, nyaman, dan mendukung bagi semua siswa untuk bisa belajar dengan nyaman. Kenyataan bahwa kekerasan masih terjadi di lingkungan pendidikan tentu sangat memprihatinkan. Tentu saja akar dari kekerasan ini tidak hanya soal disiplin, tetapi juga kurangnya perhatian terhadap kesehatan mental, budaya kekerasan yang mungkin tak disadari, serta lemahnya penanaman nilai-nilai empati dan saling menghormati di antara siswa yang dimulai sejak dari dalam rumah atau keluarga.
Sekolah hanya menjadi sebuah TERMINAL tempat berlangsungnya aksi kekerasan. Sekolah tidak serta merta menjadi "tersangka dan tertuduh", karena hanya 6-8 jam saja siswa berada di sekolah. Selebihnya di rumah.Â
Hanya saja, sekolah bisa "dimanfaatkan" oleh para siswa karena melihat ada celah atau peluang. Yang utama karena banyaknya siswa maka kontrol menjadi lemah dan tidak menyeluruh. Padahal kekerasan di sekolah biasanya terjadi secara berkelompok, tidak pernah berdiri sendiri, atau perbuatan satu siswa ke satu siswa.
Dapatkah Kekerasan di Sekolah Dihentikan?
Menghentikan kekerasan di sekolah bukan hal yang mustahil, tapi membutuhkan upaya kolaboratif dari berbagai pihak. Perlu ada perubahan paradigma dalam memandang pendidikan, di mana kesejahteraan emosional siswa juga menjadi prioritas utama. Program pencegahan seperti pelatihan kesadaran anti-kekerasan, pendidikan karakter, dan pendampingan psikologis harus diperkuat. Dan kembali lagi, peran utama ada pada masing-masing orang tua dan keluarga untuk menanamkan kesadaran untuk menjadi pelaku atau korban kekerasan kepada dan dari orang lain di sekolah.
Upaya kolaboratif harus diupayakan sejak awal mulai berupa kesepakatan, kesepahaman dan perjanjian antara siswa dan orang tua di satu sisi dan sekolah di sisi lain. Bahwa setiap anak yang terlibat aksi kekerasan dalam bentuk apapun akan dikeluarkan dari sekolah tanpa surat peringatan. Karena suratnya sudah dibuat sejak awal masuk masuk sekolah.
Kalau sekolah main keluarkan berarti sekolah tidak mampu dong menjadi sarana pendidikan dan perubahan bagi siswa? Oh tidak, semua pihak harus sejak awal berkomitmen bahwa tidak ada kekerasan apapun. Termasuk korban kekerasan pun, jika dia tidak berani bersuara dan melaporkan tindak kekerasan dari pihak lain harus ikut dikeluarkan. Tentu lagi-lagi harus dibuat akta komitmen sejak awal mau masuk sekolah.
Dengan demikian sekolah telah mengantisipasi (memutus mata rantai) terjadinya tindak kekerasan dalam bentuk apapun sejak awal masuk sekolah. Dan harus konsisten diterapkan supaya ada kewibawaan atas komitmen dan sanksi yang diterimakan kepada para pelaku tindak kekerasan.
Apa yang Perlu Jadi Perhatian Kita?
Kita perlu menyadari bahwa kekerasan di sekolah bukan sekadar masalah siswa atau guru, tapi masalah kita bersama sebagai masyarakat. Seperti sudah saya tegaskan sebelumnya, budaya kekerasan bisa muncul dari banyak faktor, termasuk pola asuh di rumah, lingkungan sosial, hingga pengaruh media.Â
Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan bagaimana nilai-nilai anti-kekerasan dibangun sejak dini di rumah dan didukung oleh sekolah.
Program-Program PencegahanÂ
Pertama, Pelatihan Kesadaran dan Pencegahan Kekerasan. Pelatihan Kesadaran dan Pencegahan Kekerasan merupakan langkah penting untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan inklusif.Â
Pelatihan ini harus melibatkan seluruh elemen sekolah (guru, siswa, staf, dan bahkan orang tua) untuk membangun pemahaman yang komprehensif tentang tanda-tanda awal kekerasan, baik fisik maupun verbal, yang sering kali tersembunyi.
Dengan pemahaman tersebut, setiap pihak dapat lebih sigap dalam mengidentifikasi potensi masalah sebelum berkembang menjadi kekerasan yang lebih serius. Selain itu, pelatihan ini juga harus membekali seluruh ekosistem sekolah dengan keterampilan mediasi konflik, komunikasi empatik, dan pemahaman terhadap keberagaman, sehingga tercipta suasana yang mendukung saling menghormati dan kerja sama.Â
Melalui pelatihan ini, sekolah diharapkan menjadi tempat yang kondusif untuk tumbuh, di mana semua individu merasa aman, dihargai, dan bebas dari ancaman kekerasan.
Kedua, Pendampingan Psikologis. Layanan konseling yang mudah diakses siswa dapat mencegah terjadinya kekerasan dengan memberikan mereka ruang untuk berbicara tentang masalah yang mereka hadapi, baik di sekolah maupun di luar.
Pendampingan Psikologis merupakan elemen penting dalam upaya pencegahan kekerasan di sekolah.Â
Layanan konseling yang mudah diakses oleh siswa memberi mereka kesempatan untuk menyalurkan emosi dan berbicara tentang masalah yang mungkin mereka hadapi, baik yang berkaitan dengan tekanan akademik, konflik dengan teman sebaya, maupun masalah di luar sekolah seperti permasalahan keluarga atau lingkungan.Â
Dengan adanya konselor yang terlatih, siswa dapat merasa didengar dan dipahami, sehingga beban emosional mereka tidak berujung pada perilaku kekerasan atau tindakan yang merugikan.Â
Pendampingan psikologis juga membantu siswa mengembangkan keterampilan mengelola stres dan emosi secara sehat, serta mendorong pola pikir yang positif dan resilien. Dengan adanya dukungan psikologis yang terus menerus, sekolah dapat menjadi ruang yang aman dan mendukung kesejahteraan mental seluruh siswanya.
Ketiga, Penguatan Pendidikan Karakter. Melalui pendidikan karakter yang sistematis dan terintegrasi dalam kurikulum, nilai-nilai seperti empati, saling menghormati, dan kerja sama dapat lebih ditanamkan.Â
Penguatan Pendidikan Karakter sangat penting dalam membentuk perilaku positif dan mencegah kekerasan di sekolah. Melalui pendidikan karakter yang sistematis dan terintegrasi dalam kurikulum, sekolah dapat menanamkan nilai-nilai inti seperti empati, saling menghormati, kejujuran, dan kerja sama di setiap kegiatan pembelajaran.
Proses ini tidak hanya berupa teori, tetapi juga harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah melalui praktik nyata, seperti kegiatan kelompok, dialog terbuka, dan program pelayanan masyarakat.Â
Dengan menekankan pentingnya menghargai perbedaan dan membangun hubungan sosial yang sehat, siswa akan belajar untuk mengelola konflik dengan lebih bijaksana dan tanpa kekerasan.Â
Pendidikan karakter yang kuat akan menghasilkan individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berintegritas, berempati, dan siap berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang harmonis dan inklusif.
Keempat, Ekstrakurikuler Wajib dengan Pendekatan Inklusif. Partisipasi dalam ekstrakurikuler yang bersifat kolaboratif dapat mengurangi kemungkinan konflik dan kekerasan di antara siswa. Namun, pendekatannya harus inklusif, bukan sekadar kewajiban, melainkan kesempatan bagi siswa untuk berkembang dan bersosialisasi dalam suasana yang mendukung.
Ekstrakurikuler Wajib dengan Pendekatan Inklusif dapat menjadi strategi efektif dalam mengurangi konflik dan kekerasan di sekolah. Kegiatan ekstrakurikuler yang bersifat kolaboratif, seperti olahraga, seni, atau kegiatan sosial, memungkinkan siswa berinteraksi, bekerja sama, dan saling mengenal dalam konteks yang lebih santai dan non-akademis.Â
Namun, penting agar pendekatan ini dilakukan secara inklusif, bukan hanya sebagai kewajiban yang dipaksakan. Setiap siswa harus merasa dilibatkan, dihargai, dan diberikan ruang untuk memilih kegiatan yang sesuai dengan minat dan bakat mereka.
Pendekatan ini bertujuan menciptakan suasana yang mendukung pertumbuhan pribadi dan sosial, di mana siswa dapat belajar mengelola perbedaan, membangun hubungan yang sehat, dan memperkuat empati.Â
Dengan demikian, ekstrakurikuler tidak hanya menjadi media hiburan, tetapi juga alat yang ampuh untuk mencegah kekerasan melalui interaksi positif dan pengembangan keterampilan sosial yang lebih baik.
Dengan langkah-langkah yang tepat sebagaimana yang sudah digambarkan di atas, sekolah bisa menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi semua anak untuk belajar, tumbuh, dan berkembang. Sekolah menjadi pemutus mata rantai kekerasan antarsiswa bahkan sejak sebelum proses belajar mengajar berlangsung.Â
Maka pakta integritas, komitmen anti kekerasan harus ditegakkan sejak awal seseorang mau masuk dalam sekolah tersebut. Tentu aturan semacam ini harus menjadi cerminan dari aturan negara yang lebih besar. Negara harus hadir lebih dekat dengan tegas dalam aturan namun penuh cinta kasih dalam pendekatan. Negara (melalui kementerian) tidak hanya bertugas sebagai pemberi aturan tetapi mereka juga harus hidup sesuai aturan juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H