Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kepuasan yang Menyakitkan

3 Oktober 2024   05:00 Diperbarui: 3 Oktober 2024   08:27 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi hasil olahan GemAIBot, dokpri)

Kepuasan yang Menyakitkan

Rina dikenal sebagai wanita yang sukses dan mapan. Sebagai manajer pemasaran di sebuah perusahaan besar, gajinya cukup tinggi untuk memenuhi segala kebutuhannya. Namun, akhir-akhir ini, keadaan mulai berubah. Harga kebutuhan pokok melambung, cicilan rumah semakin berat, dan inflasi membuat segala sesuatu terasa lebih mahal. Meski begitu, Rina selalu bisa menemukan pelarian -belanja.

Setiap kali Rina merasa cemas atau kewalahan dengan pekerjaannya, dia akan membuka aplikasi belanja online dan mulai menelusuri barang-barang yang bisa memberinya rasa puas. Sebuah tas merk baru, sepatu mewah, atau alat kecantikan yang mengklaim bisa membuat kulitnya bersinar dalam semalam -semua dibeli dengan satu klik. Rasanya nyaman, setidaknya untuk sesaat. Setiap kali paket tiba di pintu rumahnya, ada kebahagiaan kecil yang membuat kecemasan itu mereda. Tapi hanya sebentar.

Rina tahu dia sudah terlalu jauh. Kartu kreditnya hampir mencapai batas maksimal, dan meskipun gajinya besar, tagihan semakin menumpuk. Suatu hari, dia menerima notifikasi bahwa cicilan rumahnya tertunggak selama dua bulan. Rasa cemas yang dia coba hilangkan dengan belanja kini tumbuh semakin besar. Setiap kali dia membeli sesuatu untuk merasa lebih baik, kecemasan itu justru kembali berlipat ganda setelahnya.

Rina mulai mengabaikan panggilan dari bank. Dia beralasan pada dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa dia akan mendapatkan bonus besar di akhir tahun dan bisa melunasi semua tagihan. Namun, ketika bonus itu ternyata lebih kecil dari yang diharapkan, kenyataan mulai menamparnya dengan keras. Akhirnya, pada suatu malam, Rina merasa terjebak di sudut yang paling gelap dalam hidupnya. Dia duduk di sofa, memegang tas desainer yang baru saja tiba -tas yang tak lagi memberi kebahagiaan, hanya penyesalan.

Lelah dengan semuanya, Rina memutuskan untuk mengambil langkah besar. Dia mengumpulkan semua barang belanjaan yang telah dia beli dalam setahun terakhir -tas, sepatu, pakaian, aksesoris mewah -dan memutuskan untuk menjualnya. Dia berpikir, dengan menjual semuanya, dia bisa mengembalikan sebagian uangnya, membayar utang, dan memulai hidup yang lebih bijak.

Namun, di saat dia mulai menjual barang-barang itu satu per satu, terjadi sesuatu yang aneh. Tidak ada satu pun barang yang laku. Semua penawaran yang dia buat di platform jual-beli diabaikan, meski dia menurunkan harganya berkali-kali. Pembeli yang tertarik tiba-tiba membatalkan transaksi tanpa alasan jelas. Rina merasa kebingungan.

Satu malam, ketika dia merenungi situasi tersebut, teleponnya berdering. Suara di seberang sana dingin dan menakutkan, mengatakan bahwa barang-barang yang telah dia beli tidak pernah benar-benar ada. Rina bingung, merasa itu hanya lelucon. Namun, ketika dia memeriksa kembali barang-barang di rumahnya, tas, sepatu, dan semua barang mewah yang dia beli perlahan mulai memudar, menghilang satu per satu. Dalam beberapa menit, semuanya hilang -seakan tak pernah ada.

Rina tersentak kaget. Dia menyadari bahwa selama ini, semua yang dia kejar hanyalah ilusi. Kepuasan yang dia beli dengan uang ternyata tak lebih dari mimpi buruk yang dirancang oleh kecemasannya sendiri. Semua barang yang dia habiskan untuk meredakan rasa takutnya hanyalah bayangan kosong, produk dari pelarian emosional yang tak pernah menyentuh kenyataan.

Pada akhirnya, dia tidak hanya kehilangan barang-barang mewahnya, tapi juga keuangannya, rumahnya, dan lebih dari segalanya -keseimbangan jiwanya. Rina terpaksa memulai hidup dari nol, namun dengan pelajaran yang takkan pernah dia lupakan: tidak ada kepuasan sejati yang bisa dibeli dengan uang, dan pelarian dari rasa sakit hanya akan membawa penderitaan yang lebih dalam.

Barang-barang yang selama ini membuat Rina merasa nyaman ternyata hanya ilusi yang dihasilkan oleh kecemasannya. Semua yang dia beli selama setahun lebih tidak pernah benar-benar ada, hanya cerminan dari keinginannya untuk lari dari kenyataan yang tak pernah bisa dia taklukkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun