Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. Editor, penulis dan pengelola Penerbit Bajawa Press. Melayani konsultasi penulisan buku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Arak-arakan di Kota Tanpa Janji

1 Oktober 2024   21:45 Diperbarui: 1 Oktober 2024   22:55 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Arak-Arakan di Kota 

Di Kota Pelangi itu, rakyat telah muak. Sudah bertahun-tahun, mereka mengeluh tentang janji manis yang diucapkan saat kampanye, namun berulang kali dikhianati begitu sang wakil rakyat duduk di kursi kekuasaan. Namun kali ini, rakyat memutuskan untuk bertindak berbeda. Mereka tak ingin lagi menjadi tuan baik hati yang hanya dielu-elukan setiap empat tahun sekali.

Di tengah hiruk-pikuk pasar, kabar bahwa para anggota dewan dan senator Kota Pelangi akan diarak keliling kota mulai tersebar. Gagasan itu bermula dari obrolan warung kopi, kala para warga mengungkapkan frustrasi mereka. Setiap kali hujan turun, jalanan berubah menjadi lumpur, jembatan utama yang sudah bertahun-tahun diabaikan, kini nyaris ambruk, sementara para wakil rakyat menikmati hidup mewah di ibu kota.

Maka, pada hari yang cerah di awal minggu, sebuah arak-arakan besar siap dilaksanakan. Di barisan paling depan, ada Pak Arief, seorang petani tua yang dulu menjual sawahnya untuk membiayai kampanye salah satu senator. Arief berjalan dengan penuh tekad, memegang bendera kecil dengan tulisan besar yang terbaca jelas: 

"JANJI ITU WAJIB DITEPATI".

Tepat di belakangnya, lima mobil bak terbuka berjejer rapi. Di atas mobil-mobil itu duduk anggota dewan dan senator yang baru saja terpilih tiga bulan lalu. Wajah-wajah mereka terlihat murung, sebagian tertegun tak percaya, sebagian lagi tampak ketakutan. Mereka mengenakan selempang seperti saat kampanye dulu, namun kali ini selempang mereka tak tertulis kata "pemimpin," melainkan "pengkhianat."

"Waktu kampanye, mereka datang ke rumah kita, memohon dukungan, menjanjikan perubahan. Tapi sekarang? Mereka bahkan tak pernah datang lagi," seru Ibu Wina, seorang penjual sayur, sambil berjalan di sisi barisan. Ia merasa seakan suaranya tenggelam dalam janji-janji kosong yang tak pernah ditepati.

Arak-arakan mulai bergerak, mengelilingi kota. Di setiap tikungan, semakin banyak warga yang bergabung, menabuh drum, meniup terompet, dan menyanyikan lagu-lagu protes. Ada yang membawa spanduk bertuliskan:

"JALAN RUSAK, KAMI TAK BUTUH SENYUMAN!" dan "RUMAH SAKIT PENUH, ANGGOTA DEWAN TAK PEDULI!"

(ilustrasi memakai GemAIBot, dokpri)
(ilustrasi memakai GemAIBot, dokpri)

Sorakan semakin keras ketika rombongan melewati balai kota. Di balkon, beberapa pejabat lokal yang masih setia pada anggota dewan hanya bisa memandangi arak-arakan dengan gugup, takut jika kemarahan rakyat akan merembet ke mereka.

"Tak bisa dipercaya!" seru salah satu senator, Bu Dewi, yang selama ini dikenal sebagai salah satu politikus yang paling pandai bicara. "Kami dipermalukan di depan seluruh kota! Rakyat sudah gila!"

Namun, suara Bu Dewi hilang ditelan gemuruh sorakan warga. Mereka berbondong-bondong menuntut janji yang tak kunjung ditepati. Janji tentang perbaikan ekonomi, janji tentang jaminan pendidikan, janji tentang pelayanan kesehatan. Janji yang selama ini hanya terdengar sebagai bualan kosong.

Di antara arak-arakan itu, seorang anak kecil, Rendi, berjalan sambil menggenggam balon merah di tangan kirinya. "Ayah bilang mereka ini pembohong. Apa itu benar?" tanya Rendi kepada ibunya.

"Benar, Nak. Mereka janji akan memperbaiki sekolahmu, tapi lihatlah, tak ada yang berubah. Dindingnya masih bocor, bukumu masih usang," jawab ibunya sambil tersenyum pahit.

Rendi memandang ke arah para pejabat di mobil bak terbuka, mencoba memahami apa yang terjadi. Baginya, janji adalah sesuatu yang harus ditepati, karena setiap kali ia berjanji kepada temannya untuk bermain, ia selalu memastikan hadir. Tapi, mengapa orang-orang dewasa ini tak bisa melakukan hal yang sama?

Saat arak-arakan mencapai alun-alun kota, semua berhenti. Di tengah alun-alun, berdiri sebuah panggung besar yang dihiasi dengan bendera merah putih. Di atas panggung itu, sudah berdiri beberapa tokoh masyarakat, termasuk Pak Arief.

"Kita sudah cukup sabar selama ini!" seru Pak Arief di mikrofon. "Kita menunggu mereka menepati janji. Tapi apa yang kita dapat? Hanya janji-janji kosong. Sudah saatnya kita ambil tindakan!"

Tepuk tangan dan sorakan menggema di seluruh alun-alun. Para anggota dewan dan senator yang diarak tak lagi bisa menahan rasa takut. Mereka ingin protes, ingin berbicara, tapi tak ada satu pun dari mereka yang berani. Beberapa dari mereka mulai menangis, sementara yang lain mencoba menenangkan diri, berharap ini hanya mimpi buruk yang segera berlalu.

Namun, tiba-tiba, seorang pemuda bernama Budi naik ke panggung dengan wajah serius. Dia bekerja sebagai sopir ojek, dan selama ini, dia selalu percaya pada sistem demokrasi.

"Pak Arief," panggil Budi dari atas panggung, "ini semua memang salah mereka, tapi kita juga bersalah. Kita yang memilih mereka, kita yang memberikan kepercayaan tanpa banyak bertanya. Mungkin kita perlu cara lain untuk mengubah ini."

(ilustrasi memakai GemAIBot, dokpri)
(ilustrasi memakai GemAIBot, dokpri)

Semua orang diam, menunggu apa yang akan Budi katakan.

"Mereka adalah cermin dari kita," lanjut Budi. "Jika kita membiarkan mereka memimpin tanpa kontrol, mereka akan terus berbuat seperti ini. Bukan hanya mereka yang harus diubah, kita juga harus berubah. Jangan hanya marah saat kecewa, tapi pastikan kita selalu mengawasi, selalu bertanya, selalu menuntut."

Tiba-tiba, suasana di alun-alun menjadi hening. Rakyat yang semula berteriak penuh amarah, kini mulai merenung. Mereka menyadari bahwa arak-arakan ini adalah simbol kekecewaan, tapi perubahan yang sesungguhnya harus datang dari cara mereka memperlakukan sistem itu sendiri. Pemimpin yang baik lahir dari rakyat yang peduli, bukan hanya dari janji-janji saat kampanye.

Lalu, sebuah suara dari arah mobil terdengar. Salah satu anggota dewan, Pak Herman, berdiri dengan suara bergetar. "Aku salah. Kami salah. Dan aku berjanji, mulai hari ini, aku akan bekerja dengan sepenuh hati. Jika tidak, kalian boleh menurunkan kami, memecat kami."

Pak Herman turun dari mobil, berjalan menuju panggung. Diikuti oleh beberapa anggota dewan dan senator lainnya, mereka berdiri di hadapan rakyat dengan kepala tertunduk. Satu per satu, mereka menyampaikan janji baru mereka, kali ini tanpa kebohongan, tanpa tipu daya. Namun, kali ini rakyat tak hanya mendengar; mereka akan mengawasi, mengawal setiap janji yang diucapkan.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Kota Pelangi, rakyat dan pemimpin mereka berdiri bersama di panggung itu. Bukan sebagai musuh, tapi sebagai bagian dari perubahan yang lebih besar. Karena mereka tahu, habis manis sepah tak akan lagi dibuang, jika rakyat tahu cara menjaga agar manis itu tetap terasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun