"Mereka adalah cermin dari kita," lanjut Budi. "Jika kita membiarkan mereka memimpin tanpa kontrol, mereka akan terus berbuat seperti ini. Bukan hanya mereka yang harus diubah, kita juga harus berubah. Jangan hanya marah saat kecewa, tapi pastikan kita selalu mengawasi, selalu bertanya, selalu menuntut."
Tiba-tiba, suasana di alun-alun menjadi hening. Rakyat yang semula berteriak penuh amarah, kini mulai merenung. Mereka menyadari bahwa arak-arakan ini adalah simbol kekecewaan, tapi perubahan yang sesungguhnya harus datang dari cara mereka memperlakukan sistem itu sendiri. Pemimpin yang baik lahir dari rakyat yang peduli, bukan hanya dari janji-janji saat kampanye.
Lalu, sebuah suara dari arah mobil terdengar. Salah satu anggota dewan, Pak Herman, berdiri dengan suara bergetar. "Aku salah. Kami salah. Dan aku berjanji, mulai hari ini, aku akan bekerja dengan sepenuh hati. Jika tidak, kalian boleh menurunkan kami, memecat kami."
Pak Herman turun dari mobil, berjalan menuju panggung. Diikuti oleh beberapa anggota dewan dan senator lainnya, mereka berdiri di hadapan rakyat dengan kepala tertunduk. Satu per satu, mereka menyampaikan janji baru mereka, kali ini tanpa kebohongan, tanpa tipu daya. Namun, kali ini rakyat tak hanya mendengar; mereka akan mengawasi, mengawal setiap janji yang diucapkan.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Kota Pelangi, rakyat dan pemimpin mereka berdiri bersama di panggung itu. Bukan sebagai musuh, tapi sebagai bagian dari perubahan yang lebih besar. Karena mereka tahu, habis manis sepah tak akan lagi dibuang, jika rakyat tahu cara menjaga agar manis itu tetap terasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H