Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. Editor, penulis dan pengelola Penerbit Bajawa Press. Melayani konsultasi penulisan buku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Arak-arakan di Kota Tanpa Janji

1 Oktober 2024   21:45 Diperbarui: 1 Oktober 2024   22:55 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi memakai GemAIBot, dokpri)

Namun, suara Bu Dewi hilang ditelan gemuruh sorakan warga. Mereka berbondong-bondong menuntut janji yang tak kunjung ditepati. Janji tentang perbaikan ekonomi, janji tentang jaminan pendidikan, janji tentang pelayanan kesehatan. Janji yang selama ini hanya terdengar sebagai bualan kosong.

Di antara arak-arakan itu, seorang anak kecil, Rendi, berjalan sambil menggenggam balon merah di tangan kirinya. "Ayah bilang mereka ini pembohong. Apa itu benar?" tanya Rendi kepada ibunya.

"Benar, Nak. Mereka janji akan memperbaiki sekolahmu, tapi lihatlah, tak ada yang berubah. Dindingnya masih bocor, bukumu masih usang," jawab ibunya sambil tersenyum pahit.

Rendi memandang ke arah para pejabat di mobil bak terbuka, mencoba memahami apa yang terjadi. Baginya, janji adalah sesuatu yang harus ditepati, karena setiap kali ia berjanji kepada temannya untuk bermain, ia selalu memastikan hadir. Tapi, mengapa orang-orang dewasa ini tak bisa melakukan hal yang sama?

Saat arak-arakan mencapai alun-alun kota, semua berhenti. Di tengah alun-alun, berdiri sebuah panggung besar yang dihiasi dengan bendera merah putih. Di atas panggung itu, sudah berdiri beberapa tokoh masyarakat, termasuk Pak Arief.

"Kita sudah cukup sabar selama ini!" seru Pak Arief di mikrofon. "Kita menunggu mereka menepati janji. Tapi apa yang kita dapat? Hanya janji-janji kosong. Sudah saatnya kita ambil tindakan!"

Tepuk tangan dan sorakan menggema di seluruh alun-alun. Para anggota dewan dan senator yang diarak tak lagi bisa menahan rasa takut. Mereka ingin protes, ingin berbicara, tapi tak ada satu pun dari mereka yang berani. Beberapa dari mereka mulai menangis, sementara yang lain mencoba menenangkan diri, berharap ini hanya mimpi buruk yang segera berlalu.

Namun, tiba-tiba, seorang pemuda bernama Budi naik ke panggung dengan wajah serius. Dia bekerja sebagai sopir ojek, dan selama ini, dia selalu percaya pada sistem demokrasi.

"Pak Arief," panggil Budi dari atas panggung, "ini semua memang salah mereka, tapi kita juga bersalah. Kita yang memilih mereka, kita yang memberikan kepercayaan tanpa banyak bertanya. Mungkin kita perlu cara lain untuk mengubah ini."

(ilustrasi memakai GemAIBot, dokpri)
(ilustrasi memakai GemAIBot, dokpri)

Semua orang diam, menunggu apa yang akan Budi katakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun