Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Malignant, Orang yang Senang Ketika Orang Lain Menderita

30 September 2024   19:00 Diperbarui: 30 September 2024   19:03 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malignant, Orang yang Senang Ketika Orang Lain Menderita

Ketika membaca tulisan Mas Andriyanto berjudul "Mengenal Schadenfreude: Ketika Senang Melihat Penderitaan Orang Lain dan Menderita Saat Orang Lain Senang" yang diposting dalam Kompasiana pada tanggal 29 September 2024, saya tergelitik untuk mencari tahu lebih jauh tentang penyakit ini. Ada dua istilah yang ditawarkan, sadis, sadistic dan malignant. Saya lebih tertarik untuk membahas lebih lanjut istilah malignant ini.

Di tengah masyarakat yang penuh dengan dinamika sosial, kita mungkin pernah bertemu dengan individu yang tampaknya merasa puas atau bahkan senang melihat orang lain menderita. Orang seperti ini sering disebut sebagai malignant. Sifat ini bukan hanya wujud ketidakpedulian, melainkan sebuah kegembiraan yang didapatkan dari penderitaan orang lain. Namun, apa yang menyebabkan seseorang memiliki sifat seperti ini, dan bagaimana cara kita menghadapi orang dengan kecenderungan demikian?

Penyebab Sifat Malignant

Ada beberapa alasan psikologis yang dapat menjelaskan mengapa seseorang bisa menikmati penderitaan orang lain:

Pertama, Trauma atau Pengalaman Buruk di Masa Lalu. Banyak orang dengan sifat sadis atau malignant memiliki sejarah trauma, penindasan, atau rasa sakit yang tidak terselesaikan. Mereka mungkin pernah mengalami penderitaan yang parah, dan secara tidak sadar, mereka mengadopsi mekanisme pertahanan dengan "membalikkan" rasa sakit itu kepada orang lain. Ini bisa menjadi bentuk pelarian atau cara untuk mendapatkan kontrol atas situasi yang di masa lalu terasa tidak terkendali.

Kedua, Kurangnya Empati. Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dialami orang lain. Pada orang yang malignant, kemampuan empati ini bisa sangat rendah atau bahkan tidak ada. Tanpa empati, penderitaan orang lain dipandang sebagai hiburan atau hal yang tidak penting, karena mereka tidak mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang menderita.

Ketiga, Kebutuhan Akan Kekuasaan dan Dominasi. Orang yang senang melihat penderitaan orang lain seringkali memiliki dorongan untuk merasa superior. Melihat orang lain jatuh atau menderita memberi mereka ilusi kendali dan kekuasaan atas situasi. Hal ini menciptakan perasaan dominasi, yang mengisi kekosongan psikologis di dalam diri mereka.

Keempat, Rasa Iri dan Kebencian. Ketika seseorang merasa iri terhadap kesuksesan atau kebahagiaan orang lain, rasa iri itu dapat berubah menjadi kebencian. Orang dengan kecenderungan malignant sering kali tidak ingin orang lain berhasil atau bahagia, karena hal itu mengingatkan mereka pada kekurangan atau kegagalan mereka sendiri.

Solusi untuk Menghadapi Orang dengan Sifat Malignant

Menghadapi orang dengan sifat malignant bukanlah hal yang mudah, karena mereka bisa sangat manipulatif dan merusak. Berikut adalah beberapa pendekatan yang bisa dilakukan:

Pertama, Menjaga Jarak Emosional. Salah satu langkah paling penting adalah menjaga batasan yang jelas antara diri sendiri dan orang dengan sifat malignant. Jangan terlibat terlalu dalam dalam permainan emosional mereka. Memahami bahwa sifat mereka berasal dari tempat yang penuh rasa sakit bisa membantu kita untuk tidak terjebak dalam siklus emosi negatif.

Kedua, Tetap Tenang dan Tidak Terprovokasi. Orang dengan sifat malignant mungkin mencoba memprovokasi reaksi dari orang lain. Respon yang penuh emosi sering kali justru memberikan mereka kepuasan. Maka, menjaga ketenangan dan tidak memberikan reaksi berlebihan adalah langkah yang efektif.

Ketiga, Cari Dukungan. Menghadapi orang seperti ini dapat menguras mental dan emosi. Oleh karena itu, penting untuk memiliki dukungan dari orang-orang yang peduli, baik dari teman, keluarga, maupun profesional seperti terapis atau konselor. Mereka bisa membantu memberikan perspektif yang lebih objektif dan memberikan strategi untuk menghadapi situasi.

Keempat, Berlatih Empati Terhadap Diri Sendiri. Menghadapi seseorang yang terus-menerus berusaha menjatuhkan bisa membuat kita merasa rendah diri. Di sinilah pentingnya berlatih empati terhadap diri sendiri -mengenali bahwa kita berhak untuk bahagia dan tidak perlu terjebak dalam lingkaran manipulasi emosi.

Kelima, Konfrontasi Secara Bijaksana. Dalam beberapa situasi, konfrontasi langsung mungkin diperlukan, terutama jika perilaku mereka telah melampaui batas. Namun, penting untuk melakukannya dengan bijak, dengan tujuan untuk menegaskan batasan, bukan untuk memicu lebih banyak konflik. Dalam situasi seperti ini, penting untuk tetap tegas namun tidak terprovokasi.

Beberapa Pemimpin Dunia dengan sifat Malignant

Ada beberapa pemimpin dunia yang menunjukkan sifat malignant atau sifat sadistik, di mana mereka merasa senang atau tidak peduli dengan penderitaan orang lain, dan tindakan mereka menimbulkan penderitaan massal. Pemimpin-pemimpin ini sering menggunakan kekerasan, penindasan, dan kekejaman untuk mempertahankan kekuasaan atau mencapai tujuan politik. Berikut beberapa contoh pemimpin dengan sifat malignant dan contoh kekejaman mereka:

(gettysburgmuseumofhistory.com)
(gettysburgmuseumofhistory.com)

1. Adolf Hitler (Jerman, 1933-1945)

Adolf Hitler mungkin adalah salah satu contoh paling terkenal dari pemimpin dengan sifat malignant. Sebagai pemimpin Nazi Jerman, Hitler bertanggung jawab atas Holocaust, di mana sekitar 6 juta orang Yahudi dibantai secara sistematis di kamp-kamp konsentrasi, bersama dengan jutaan korban lainnya termasuk Roma, homoseksual, dan penyandang disabilitas. Kekejamannya bukan hanya dilandasi kebijakan politik, tetapi juga kebencian rasial yang dalam dan penindasan brutal terhadap kelompok-kelompok yang dianggap "inferior." Rezim Hitler membawa penderitaan luar biasa di Eropa selama Perang Dunia II, dengan kebijakan agresif yang menimbulkan kehancuran bagi banyak negara.

(J. Stalin, goodfreephotos.com)
(J. Stalin, goodfreephotos.com)

2. Joseph Stalin (Uni Soviet, 1924-1953)

Stalin adalah pemimpin Uni Soviet yang dikenal karena pemerintahannya yang penuh dengan teror, penindasan, dan kelaparan massal. Di bawah kepemimpinannya, terjadi Pembersihan Besar-Besaran (The Great Purge), di mana jutaan orang yang dianggap sebagai musuh negara dieksekusi, dipenjara, atau dikirim ke kamp kerja paksa (Gulag). Selain itu, kebijakan pertaniannya yang keliru menyebabkan Holodomor, sebuah bencana kelaparan buatan manusia di Ukraina yang menewaskan sekitar 3 hingga 7 juta orang. Kekejaman Stalin dipicu oleh paranoia dan keinginan untuk mempertahankan kontrol total atas rakyatnya.

(Pol pot, thoughtco.com)
(Pol pot, thoughtco.com)

3. Pol Pot (Kamboja, 1975-1979)

Pol Pot adalah pemimpin Khmer Merah yang bertanggung jawab atas salah satu genosida paling mengerikan dalam sejarah modern. Dalam usahanya untuk menciptakan masyarakat agraris utopis, Pol Pot memaksa evakuasi besar-besaran penduduk kota ke pedesaan, memaksa mereka bekerja di ladang dalam kondisi mengerikan. Sekitar 1,5 hingga 2 juta orang Kamboja tewas akibat eksekusi, kelaparan, dan penyakit selama rezim Pol Pot. Ia secara sistematis menghancurkan semua aspek kehidupan modern -pendidikan, kesehatan, dan budaya---sebagai bagian dari kebijakan utopik yang brutal.

(Idi Amin, alamy.com)
(Idi Amin, alamy.com)

4. Idi Amin (Uganda, 1971-1979)

Idi Amin, dikenal sebagai "Jagal Uganda," memimpin pemerintahan yang dipenuhi dengan kekerasan dan penindasan brutal. Selama masa kekuasaannya, diperkirakan antara 100.000 hingga 500.000 orang Uganda tewas akibat eksekusi, penyiksaan, dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara. Amin juga mengusir sekitar 60.000 orang Asia dari Uganda, yang mengakibatkan kehancuran ekonomi besar-besaran. Kekejaman yang ia lakukan tidak hanya terhadap musuh politiknya tetapi juga terhadap rakyat sipil biasa, seringkali karena ketidakstabilan psikologis dan sifat sadistiknya.

(Kim Jong-il, simple.wikipedia.org)
(Kim Jong-il, simple.wikipedia.org)

5. Kim Jong-il dan Kim Jong-un (Korea Utara, 1994-sekarang)

Rezim keluarga Kim di Korea Utara, termasuk Kim Jong-il dan putranya Kim Jong-un, dikenal sebagai salah satu yang paling represif dan sadis dalam sejarah modern. Di bawah kepemimpinan mereka, rakyat Korea Utara hidup dalam penindasan total dengan pengawasan negara yang ketat, hukuman brutal, dan kekurangan pangan. Tindakan kekejaman rezim ini meliputi kamp-kamp kerja paksa di mana puluhan ribu orang ditahan dan dipaksa bekerja dalam kondisi tak manusiawi, eksekusi publik terhadap mereka yang dianggap melawan negara, serta kebijakan ekonomi yang menimbulkan kelaparan massal. Kim Jong-un juga dikenal melakukan eksekusi terhadap anggota keluarganya sendiri untuk mempertahankan kekuasaannya.

Penyebab Sifat Malignant pada Para Pemimpin Ini

Banyak pemimpin dengan sifat malignant ini memiliki pola psikologis yang sama, seperti:

Pertama, Paranoia dan Rasa Takut Kehilangan Kekuasaan. Banyak dari pemimpin ini merasa terancam oleh musuh internal maupun eksternal, yang membuat mereka menerapkan kebijakan brutal untuk mempertahankan kekuasaan.

Kedua, Rasa Superioritas. Para pemimpin ini sering memiliki keyakinan bahwa mereka dan ideologi mereka lebih tinggi atau lebih benar daripada yang lain, sehingga merasa berhak mengorbankan kehidupan orang banyak demi tujuan mereka.

Ketiga, Kurangnya Empati. Sifat sadistik pada pemimpin ini terlihat dari kurangnya empati terhadap penderitaan manusia. Mereka melihat orang lain sebagai alat untuk mencapai tujuan politik mereka, tanpa memperhatikan dampak emosional atau fisik yang diakibatkan.

Solusi Menghadapi Pemimpin dengan Sifat Malignant

Menghadapi pemimpin dengan sifat malignant pada level nasional atau internasional bukanlah hal yang mudah. Berikut beberapa solusi yang bisa diterapkan:

1) Intervensi Internasional. Lembaga-lembaga seperti PBB dan organisasi hak asasi manusia memiliki peran penting dalam menekan dan membatasi kekejaman yang dilakukan oleh pemimpin sadis melalui sanksi internasional, embargo, atau operasi kemanusiaan.

2) Pendidikan dan Kesadaran Sosial. Salah satu cara paling efektif untuk mencegah munculnya pemimpin sadis adalah melalui pendidikan yang menekankan nilai-nilai empati, keadilan, dan demokrasi. Rakyat yang terdidik lebih mungkin menentang pemimpin yang kejam.

3) Peran Media. Media bebas memiliki peran penting dalam mengungkap kekejaman yang dilakukan oleh pemimpin sadis. Kebenaran yang disiarkan secara global dapat memicu aksi protes internasional dan memberi tekanan politik terhadap rezim yang berkuasa.

4) Kekuatan Hukum Internasional. Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dan pengadilan kejahatan perang dapat menjadi alat yang kuat untuk mengadili pemimpin sadis yang bertanggung jawab atas genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, atau kekejaman perang.

Refleksi Akhir

Orang dengan sifat malignant adalah individu yang seringkali memiliki luka batin yang dalam, tetapi sayangnya, mereka menyalurkan rasa sakit itu dengan cara yang merusak. Sifat ini menciptakan lingkaran kebencian yang tidak hanya merugikan orang lain tetapi juga diri mereka sendiri. Menghadapi mereka memerlukan kombinasi antara ketegasan, empati, dan pemahaman akan batasan diri. Kita tidak dapat mengubah sifat seseorang, tetapi kita bisa mengontrol bagaimana kita merespons dan melindungi diri dari dampak negatifnya.

Sementara sifat malignant pada pemimpin dunia merupakan ancaman besar bagi kemanusiaan. Pemimpin-pemimpin ini tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi rakyat mereka sendiri, tetapi juga sering kali membawa dampak negatif bagi dunia secara keseluruhan. Menghadapi mereka memerlukan kerja sama global, kesadaran sosial, dan penegakan hukum yang tegas. Pembelajaran dari sejarah harus mendorong kita untuk terus mengupayakan keadilan dan mencegah munculnya pemimpin-pemimpin kejam di masa depan.

Pada akhirnya, menghadapi sifat malignant memerlukan kebijaksanaan untuk tetap menjaga kesejahteraan kita sendiri, sekaligus mengupayakan lingkungan sosial yang lebih sehat dan penuh empati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun