Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. Editor, penulis dan pengelola Penerbit Bajawa Press. Melayani konsultasi penulisan buku.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan di Tengah Ketimpangan dan Gelar yang Dipermainkan

29 September 2024   14:00 Diperbarui: 29 September 2024   14:02 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan di Tengah Ketimpangan dan Gelar yang Dipermainkan

Dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat gerakan literasi di kalangan mahasiswa dan dosen semakin digalakkan. Pendidikan tinggi kini didorong untuk tidak hanya mengajar, tetapi juga membentuk individu-individu yang berwawasan luas dan kritis. Namun, ironisnya, di tengah upaya ini, kita menyaksikan fenomena yang sangat menggelitik: gelar akademik, termasuk gelar doktor honoris causa, begitu mudah diberikan kepada pejabat, politisi, dan artis. Apakah literasi dan kecakapan akademik benar-benar menjadi tujuan utama pendidikan kita, atau hanya sebuah simbol status yang bisa diperjualbelikan?

Fenomena ini memperlihatkan betapa ada yang janggal dalam sistem pendidikan kita. Di satu sisi, ada dorongan yang kuat untuk meningkatkan mutu akademik dan literasi mahasiswa serta dosen, namun di sisi lain, kemudahan perolehan gelar oleh mereka yang berada di lingkar kekuasaan dan popularitas seolah mencoreng nilai-nilai pendidikan itu sendiri. Kesenjangan ini memperlihatkan bahwa pendidikan di negeri ini belum lagi mampu melepaskan diri dari jeratan kapitalisme simbolik, di mana gelar lebih bernilai sebagai akses ke pengaruh dan prestise, ketimbang pencapaian intelektual sejati.

Lebih memprihatinkan lagi, di saat yang sama, para guru honorer dan guru tidak tetap di berbagai pelosok negeri masih bergulat dengan kehidupan yang serba terbatas. Mereka yang mengabdikan hidupnya untuk mencerdaskan anak bangsa, harus rela hidup dengan imbalan yang pas-pasan, bahkan di bawah garis layak. Apakah kita sungguh-sungguh menghargai peran mereka dalam sistem pendidikan ini? Bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan pendidikan yang berkualitas jika para pengajarnya sendiri tidak dihargai sesuai dengan dedikasi dan jasa yang mereka berikan?

Peran negara dan pemerintah daerah terhadap guru-guru ini seolah dilupakan. Ketika kebijakan pendidikan lebih banyak berfokus pada kompetisi global dan prestise akademik, masalah mendasar seperti kesejahteraan guru-guru honorer dan guru tidak tetap seolah terpinggirkan. Mereka, yang sehari-harinya langsung bersentuhan dengan anak-anak kita, terpaksa mengajar dengan segala keterbatasan, baik dari segi fasilitas maupun gaji. Sementara itu, mereka yang berada di puncak kekuasaan bisa mendapatkan gelar kehormatan hanya karena nama besar atau kekayaan yang dimiliki.

Ini adalah ironi yang sangat memprihatinkan. Pendidikan seharusnya menjadi kendaraan utama untuk memperjuangkan keadilan sosial dan kesetaraan. Namun, jika sistem pendidikan ini justru memperlebar jurang ketimpangan, kita harus bertanya: di mana sesungguhnya peran negara dalam menciptakan sistem pendidikan yang adil dan merata?

Pendidikan tidak seharusnya menjadi sekadar alat untuk memperkuat status sosial, tetapi harus menjadi sarana untuk membangun masyarakat yang lebih kritis, adil, dan berkeadaban. Negara harus hadir, bukan hanya dengan kebijakan populis seperti distribusi gelar kehormatan kepada yang berkuasa, tetapi dengan kebijakan nyata yang memperhatikan kesejahteraan mereka yang benar-benar bekerja di garis depan: para guru yang mendidik generasi penerus bangsa dengan ketulusan dan kerja keras.

Jika kita sungguh-sungguh ingin memperbaiki pendidikan di negara ini, reformasi yang menyeluruh sangat dibutuhkan. Kita harus berhenti memberikan penghargaan kepada mereka yang tidak layak menerimanya, dan mulai mengalihkan perhatian kepada mereka yang benar-benar pantas: para guru yang telah berjuang tanpa pamrih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun