Permainan yang Lebih Besar
Suasana di Kota Mandiri riuh dengan gemuruh Pilkada 2024. Semua orang sibuk membicarakan nomor urut calon kepala daerah yang baru saja ditetapkan. Di jalan-jalan, baliho dengan wajah tersenyum lebar para kandidat menjulang tinggi, seolah mengawasi setiap sudut kota. Masyarakat terpaku pada nomor urut yang seolah menyimpan pesan tersirat. Bagi mereka, nomor bukan sekadar angka, tetapi harapan -simbol janji akan perubahan yang diidam-idamkan.
Nomor satu, nomor keberuntungan. Semua orang mengaitkan nomor itu dengan kemenangan. Kandidat yang mendapatkannya, Bayu, seorang pengusaha sukses yang masuk ke dunia politik, segera memanfaatkan mitos tersebut. "Satu untuk perubahan besar!" begitu bunyi slogan kampanyenya, yang diiringi janji reformasi ekonomi, pemberantasan korupsi, dan kesejahteraan rakyat.
Nomor dua, Ratna, mantan birokrat yang dikenal lurus, memanfaatkan simbol keseimbangan. "Nomor dua, untuk adil bagi semua." Dengan sikap tenang, ia menawarkan solusi untuk menyeimbangkan kesenjangan ekonomi dan mengurangi korupsi yang sudah lama merajalela di kota itu.
Lalu ada nomor tiga, Agus, yang membawa simbol persatuan. "Bersatu, kita kuat!" Setiap kali dia berbicara, ia berjanji akan mempersatukan semua lapisan masyarakat dan membawa perubahan melalui kerja sama dan partisipasi publik.
Namun, di balik semua janji manis ini, ada hal yang lebih gelap yang tak terlihat di permukaan. Money politik sudah mulai merayap ke dalam setiap kampanye. Bayu, dengan sumber daya yang tak terbatas, mulai "menyentuh" beberapa kelompok masyarakat melalui sumbangan tak resmi, bantuan logistik, dan uang tunai. Di kampung-kampung terpencil, cerita tentang amplop coklat yang berisi uang sudah menjadi rahasia umum. "Satu nomor, satu amplop," begitu bisik-bisik di kalangan warga.
Ratna, meski terlihat bersih di permukaan, tak lepas dari godaan para pendonor yang menawarkan bantuan dengan imbalan proyek ketika dia terpilih. Agus, dengan senyumnya yang ramah, diam-diam bekerja sama dengan para pengusaha yang siap membiayai kampanyenya dengan harapan mendapatkan kontrak-kontrak besar jika dia duduk di kursi kepala daerah.
Satria, seorang jurnalis muda yang bekerja untuk surat kabar lokal, mengikuti perkembangan ini dengan cermat. Dari luar, semuanya tampak seperti kampanye politik biasa, tetapi Satria mencium sesuatu yang lebih besar, lebih dalam, dan lebih busuk. Berbagai sumber di lapangan mulai memberitahunya tentang praktik money politik yang semakin meluas, serta rumor adanya perjudian besar di balik penetapan nomor urut.
Suatu malam, Satria mendapat informasi anonim tentang pertemuan rahasia yang akan diadakan di hotel bintang lima di pinggiran kota. Tanpa ragu, ia menyamar dan masuk ke lokasi. Yang ia temukan sungguh mengejutkan: bukan hanya para calon kepala daerah yang hadir, tetapi juga beberapa tokoh berpengaruh dari dunia bisnis dan politik, serta bandar-bandar besar yang berperan dalam perjudian hasil Pilkada.