Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kopi dan Sejarah

26 September 2024   08:02 Diperbarui: 26 September 2024   08:04 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi olahan dari GemAIBot, dokpri)

Di Indonesia, peristiwa G 30 S diwarnai dengan berbagai ritual peringatan dan diskusi yang berfungsi untuk membentuk pemahaman kolektif tentang sejarah ini. Dalam beberapa tahun terakhir, wacana tentang peristiwa ini mulai lebih terbuka, termasuk melalui film, diskusi akademik, dan pengajaran sejarah yang lebih kritis. Pendekatan antropologis ini menunjukkan bahwa sejarah adalah sesuatu yang terus dibentuk dan diinterpretasikan oleh masyarakat, bukan sekadar fakta yang statis.

Rekonsiliasi dan Keadilan Transisional

Lalu pada bait terakhir yang menyebutkan "rekonsiliasi datang" menyiratkan harapan akan penyembuhan melalui pengungkapan kebenaran dan pengakuan atas kesalahan masa lalu. Presiden Gus Dur bahkan pernah berupaya untuk melakukan rekonsialiasi nasional dengan mengakui bahwa negara telah salah dan lalai di masa lalu. Namun itu tidak sempat terwujud. Dalam konteks hukum, istilah ini berkaitan dengan justice transitional (keadilan transisional), yang merupakan upaya untuk memperbaiki luka masyarakat setelah kekerasan politik atau konflik, melalui mekanisme hukum seperti pengungkapan kebenaran, kompensasi bagi korban, dan rekonsiliasi.

Pakar hukum internasional, seperti Ruti Teitel, berpendapat bahwa keadilan transisional adalah proses yang diperlukan untuk mendorong rekonsiliasi nasional di negara-negara yang mengalami kekerasan politik. Di Indonesia, upaya rekonsiliasi untuk peristiwa G 30 S masih menemui banyak hambatan. Sejarawan seperti Baskara T. Wardaya dan Anthony Reid menekankan pentingnya pengungkapan kebenaran sebagai langkah awal untuk mencapai keadilan. Jika masyarakat terus mengubur atau memutarbalikkan fakta sejarah, luka sosial yang dihasilkan akan sulit sembuh.

Akhirnya...

Puisi "Kopi dan Sejarah" adalah refleksi mendalam tentang bagaimana masyarakat Indonesia menyeduh dan meminum pahitnya sejarah G 30 S. Dari perspektif psikologi, sosiologi, antropologi, dan hukum, puisi ini menyoroti pentingnya membuka narasi sejarah yang selama ini ditutup, dan menggali kebenaran dengan hati-hati demi rekonsiliasi. Menghadapi masa lalu dengan cara yang kritis bukan hanya soal memahami fakta, tetapi juga menyembuhkan luka yang masih terasa hingga sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun