Kopi dan Sejarah
Di cangkir pahit, malam kelam terukir,
30 September berlalu, sejarah terhampar.
Narasi tunggal dihirup oleh bibir,
Gulirkan ampas, kekuasaan menakar.
Asap membubung dari rahasia yang tersembunyi,
Kudeta, kudeta, siapa yang dicari?
Di luar negeri, mereka menatap sunyi,
Tangan-tangan asing, kebenaran tak bertepi.
Namun, sejarah tak lagi diseduh sembarangan,
Biji-biji kritis ditumbuk perlahan.
Di setiap tegukan, luka dibicarakan,
Rekonsiliasi datang, pahit manis dikenang.
Awalnya...
Puisi "Kopi dan Sejarah" di atas hendak mengangkat tema peristiwa G 30 S sebagai simbol dari kompleksitas kekuasaan, manipulasi, dan upaya rekonsiliasi nasional. Dengan menggunakan metafora kopi, puisi ini menyiratkan bagaimana peristiwa sejarah yang pahit dapat menjadi bahan refleksi untuk generasi berikutnya. Narasi tunggal yang dulu mendominasi kini mulai diurai, dan perdebatan tentang kebenaran semakin terbuka dengan pendekatan kritis. Dari perspektif psikologi, sosiologi, antropologi, dan hukum, puisi ini menyoroti pentingnya menggali sejarah dengan hati-hati, agar bangsa ini bisa menghadapi masa lalu dan menciptakan masa depan yang lebih baik.
Luka Trauma Kolektif
Narasi sejarah dalam bait pertama digambarkan sebagai "cangkir pahit" yang diseduh dari malam kelam. Ini melambangkan trauma kolektif yang dialami bangsa Indonesia akibat peristiwa G 30 S dan pembantaian massal setelahnya. Psikolog seperti Elizabeth Kbler-Ross menyatakan bahwa trauma kolektif berdampak mendalam pada masyarakat, menyebabkan luka yang diwariskan lintas generasi. Luka ini sering kali tidak mudah sembuh, terutama ketika narasi sejarah diatur untuk membenarkan kekuasaan dan mengubur kebenaran.
Menurut psikolog trauma, seperti Bessel van der Kolk dalam The Body Keeps the Score, ingatan kolektif tentang kekerasan dan ketidakadilan dapat terus memengaruhi perilaku sosial dan emosional generasi penerus jika tidak dihadapi dengan cara yang benar. Dalam konteks ini, puisi ini menyoroti pentingnya penyadaran dan refleksi kritis sebagai cara untuk menghadapi trauma tersebut.
Narasi Tunggal dan Kekuasaan
Bait kedua menggambarkan narasi tunggal sebagai sesuatu yang dihirup oleh "bibir", mencerminkan bagaimana masyarakat dipengaruhi oleh narasi dominan yang dibentuk oleh kekuasaan. Sosiolog Antonio Gramsci berbicara tentang hegemoni budaya, di mana narasi tunggal digunakan oleh penguasa untuk membentuk pemahaman dan kesadaran masyarakat, sering kali tanpa disadari oleh orang-orang itu sendiri. Orde Baru di Indonesia menggunakan propaganda untuk melanggengkan versi sejarah tertentu, memaksa masyarakat untuk menerima narasi itu tanpa mempertanyakan kebenarannya. Apalagi proses perkenalan sejarah itu lewat satu pintu dan menerobos masuk ke dalam berbagai lapisan masyarakat sehingga masyarakat tidak mempunyai kesempatan untuk berpikir berbeda. Jika ada pemikiran yang berbeda pun akan langsuing diberangus. Kita bisa melihat bagaimana "negara" melalui aparat berusaha memberangus segala buku yang bertentangan dengan kehendak penguasa. Buku-buku pengetahuan tentang komunisme dan sosialisma dibredel dan dilarang beredar dalam masyarakat.
Menurut sosiolog Pierre Bourdieu, narasi seperti ini merupakan bentuk kekuasaan simbolik yang mengikat masyarakat dalam sistem nilai tertentu yang ditentukan oleh penguasa. Puisi ini mengajak kita untuk mempertanyakan narasi tersebut, mengingat bahwa "tangan-tangan asing" dan aktor lain mungkin juga berperan dalam peristiwa G 30 S. Ini adalah seruan untuk menyadari bagaimana masyarakat dipengaruhi oleh manipulasi kekuasaan dan pentingnya membuka dialog yang lebih terbuka untuk memahami sejarah.
Ingatan Kolektif dan Ritual Sejarah
Dalam bait ketiga, disebutkan bagaimana sejarah kini tidak lagi "diseduh sembarangan" dan "biji-biji kritis ditumbuk perlahan". Ini bisa diinterpretasikan sebagai proses rekonstruksi ingatan kolektif dalam masyarakat, di mana pemahaman tentang masa lalu diproses dengan lebih hati-hati. Antropolog seperti Maurice Halbwachs telah membahas konsep ingatan kolektif, di mana masyarakat bersama-sama menciptakan dan memelihara ingatan mereka tentang masa lalu melalui ritual, cerita, dan simbol. Ingatan kolektif akan rasa luka di masa lalu bisa membuat masyarakat lebih hati-hati atau bahkan sebaliknya bisa bertindak over revolusi jika ingatan itu dibarengi dengan tekanan yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Peristiwa tumbangnya Orde Baru salah satunya karena ingatan kolektif itu. Masyarakat tidak mau terus menerus ditekan.