Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meluruskan Sejarah, Membangun Ingatan Kritis

25 September 2024   19:09 Diperbarui: 25 September 2024   19:14 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MELURUSKAN SEJARAH, MEMBANGUN INGATAN KRITIS

Akhir September tinggal menghitung hari. Di zaman sebelum reformasi, September menjadi bulan yang horror karena di berbagai sudut negeri akan diputarkan sebuah film Gerakan 30 September atau G30S. Peristiwa G 30 S yang terjadi pada malam 30 September 1965 merupakan salah satu babak paling kelam dalam sejarah Indonesia. Namun, di luar narasi dan polemik politik yang menyertainya, peristiwa ini menawarkan banyak pelajaran berharga dalam konteks pendidikan sejarah, khususnya mengenai pemahaman kekerasan politik, manipulasi kekuasaan, dan pentingnya rekonsiliasi nasional.

Pelajaran dari G 30 S: Kekerasan dan Ideologi

Peristiwa G 30 S sering kali dihubungkan dengan benturan ideologi antara komunisme dan antikomunisme yang mengakibatkan konflik berskala nasional. 

Dalam pandangan sejarawan Indonesia Asvi Warman Adam, yang berfokus pada sejarah modern Indonesia, peristiwa ini telah dieksploitasi oleh rezim Orde Baru untuk mengkonsolidasikan kekuasaan melalui penghapusan PKI (Partai Komunis Indonesia) dan penguatan militer di ranah politik. 

Sejarawan seperti Adam mengingatkan kita untuk melihat peristiwa G 30 S sebagai bagian dari dinamika politik global pada masa Perang Dingin, di mana ideologi komunisme dan kapitalisme saling berhadapan, dengan Indonesia terjebak di antara kekuatan besar tersebut.

Sejarawan luar negeri seperti Geoffrey Robinson dari University of California, Los Angeles, juga menekankan betapa besarnya keterlibatan aktor internasional dalam mendukung operasi anti-PKI di Indonesia. Dalam bukunya The Killing Season (2018), Robinson menyoroti peran kekuatan asing, seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang mendukung tindakan militer Indonesia dengan alasan membendung penyebaran komunisme di Asia Tenggara. Hal ini memberi kita perspektif bahwa peristiwa G 30 S dan kekerasan setelahnya tidak dapat dipisahkan dari konteks geopolitik yang lebih luas.

(goodreads.com)
(goodreads.com)

Manipulasi Narasi Sejarah

Penting untuk dipahami bahwa sejarah G 30 S sering kali disajikan dalam kerangka tunggal selama rezim Orde Baru, dengan PKI sebagai kambing hitam utama karena sampai saat ini belum pernah diputuskan oleh pengadilan siapa sesungguhnya pelaku utamanya. Pendidikan sejarah pada masa itu berfungsi untuk melanggengkan narasi resmi, yang menyederhanakan kompleksitas peristiwa tersebut. 

Sejarawan Indonesia Bonnie Triyana menegaskan bahwa narasi sejarah ini dibentuk untuk membenarkan tindakan militer dan pencitraan Suharto sebagai penyelamat bangsa. Dengan demikian, memaknai peristiwa G 30 S dari perspektif sejarah harus melibatkan kritik terhadap bagaimana narasi tersebut dibangun dan disebarkan.

Di luar negeri, perspektif serupa diutarakan oleh sejarawan John Roosa, yang dalam bukunya Pretext for Mass Murder (2006), mengupas tentang bagaimana narasi kudeta militer pada malam 30 September digunakan sebagai dalih untuk membersihkan kekuatan komunis di Indonesia. 

Roosa berargumen bahwa peristiwa tersebut merupakan operasi yang sangat rapi dan terorganisasi serta tidak dapat dianggap hanya sebagai kudeta yang gagal oleh PKI, seperti yang lama diajarkan dalam buku-buku pelajaran sejarah di Indonesia .

Pentingnya Rekonsiliasi dan Pendidikan Kritis

Setelah puluhan tahun berlalu, narasi tentang G 30 S mulai mendapatkan ruang untuk ditelaah ulang. Perdebatan mengenai siapa yang sebenarnya berada di balik peristiwa ini dan bagaimana kekerasan setelahnya terjadi masih menjadi perbincangan. Namun, yang jelas, pendidikan sejarah harus beranjak dari sekadar pembentukan narasi tunggal menjadi upaya untuk memahami kompleksitas masa lalu secara lebih holistik. 

Sejarahwan asal Indonesia, Baskara T. Wardaya, menekankan pentingnya rekonsiliasi nasional yang dibangun dari pengungkapan kebenaran. Menurutnya, mengajarkan sejarah peristiwa G 30 S bukan hanya soal siapa yang benar atau salah, tetapi juga membuka ruang dialog antar generasi untuk menghindari pengulangan kekerasan serupa di masa depan.

Sejarawan Anthony Reid dari Australian National University berpendapat bahwa pengungkapan kebenaran adalah langkah pertama untuk mencapai rekonsiliasi. Reid menilai bahwa keengganan untuk mengakui kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu dapat memperpanjang luka sosial yang diwariskan lintas generasi.

(buku tunggal tentang kebenaran gerakan 30 September, shopee.co.id)
(buku tunggal tentang kebenaran gerakan 30 September, shopee.co.id)

Makna Pendidikan Sejarah: Membangun Ingatan Kritis

Dari semua pelajaran tersebut, yang paling penting adalah bagaimana kita mendidik generasi mendatang tentang peristiwa G 30 S. Pendidikan sejarah yang baik bukanlah soal doktrinasi atau sekadar mengingat tanggal dan tokoh, melainkan kemampuan untuk berpikir kritis terhadap sumber-sumber sejarah, narasi yang dibentuk, dan implikasinya terhadap masa kini. 

Pengajar dan sejarawan perlu memberi ruang bagi siswa untuk mempertanyakan dan memahami berbagai perspektif tentang G 30 S dan kekerasan politik yang terjadi setelahnya.

Dalam dunia yang semakin global dan terhubung, pemahaman sejarah yang kritis juga membuka ruang untuk memahami bagaimana peristiwa nasional terkait dengan dinamika internasional. Seperti yang dijelaskan oleh sejarawan luar negeri, peristiwa ini tidak dapat dipisahkan dari konteks Perang Dingin dan pengaruh global pada politik domestik Indonesia.

Peringatan G 30 S mungkin tidak lagi seheboh di masa Orde Baru, namun peristiwa ini tetap menjadi titik penting dalam sejarah Indonesia yang harus terus diajarkan dengan cara yang lebih terbuka dan kritis. Dengan melibatkan perspektif dalam negeri dan luar negeri, serta membuka ruang bagi rekonsiliasi, kita dapat belajar dari masa lalu dan menciptakan pendidikan sejarah yang lebih inklusif dan reflektif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun