Setelah puluhan tahun berlalu, narasi tentang G 30 S mulai mendapatkan ruang untuk ditelaah ulang. Perdebatan mengenai siapa yang sebenarnya berada di balik peristiwa ini dan bagaimana kekerasan setelahnya terjadi masih menjadi perbincangan. Namun, yang jelas, pendidikan sejarah harus beranjak dari sekadar pembentukan narasi tunggal menjadi upaya untuk memahami kompleksitas masa lalu secara lebih holistik.Â
Sejarahwan asal Indonesia, Baskara T. Wardaya, menekankan pentingnya rekonsiliasi nasional yang dibangun dari pengungkapan kebenaran. Menurutnya, mengajarkan sejarah peristiwa G 30 S bukan hanya soal siapa yang benar atau salah, tetapi juga membuka ruang dialog antar generasi untuk menghindari pengulangan kekerasan serupa di masa depan.
Sejarawan Anthony Reid dari Australian National University berpendapat bahwa pengungkapan kebenaran adalah langkah pertama untuk mencapai rekonsiliasi. Reid menilai bahwa keengganan untuk mengakui kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu dapat memperpanjang luka sosial yang diwariskan lintas generasi.
Makna Pendidikan Sejarah: Membangun Ingatan Kritis
Dari semua pelajaran tersebut, yang paling penting adalah bagaimana kita mendidik generasi mendatang tentang peristiwa G 30 S. Pendidikan sejarah yang baik bukanlah soal doktrinasi atau sekadar mengingat tanggal dan tokoh, melainkan kemampuan untuk berpikir kritis terhadap sumber-sumber sejarah, narasi yang dibentuk, dan implikasinya terhadap masa kini.Â
Pengajar dan sejarawan perlu memberi ruang bagi siswa untuk mempertanyakan dan memahami berbagai perspektif tentang G 30 S dan kekerasan politik yang terjadi setelahnya.
Dalam dunia yang semakin global dan terhubung, pemahaman sejarah yang kritis juga membuka ruang untuk memahami bagaimana peristiwa nasional terkait dengan dinamika internasional. Seperti yang dijelaskan oleh sejarawan luar negeri, peristiwa ini tidak dapat dipisahkan dari konteks Perang Dingin dan pengaruh global pada politik domestik Indonesia.
Peringatan G 30 S mungkin tidak lagi seheboh di masa Orde Baru, namun peristiwa ini tetap menjadi titik penting dalam sejarah Indonesia yang harus terus diajarkan dengan cara yang lebih terbuka dan kritis. Dengan melibatkan perspektif dalam negeri dan luar negeri, serta membuka ruang bagi rekonsiliasi, kita dapat belajar dari masa lalu dan menciptakan pendidikan sejarah yang lebih inklusif dan reflektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H