MELURUSKAN SEJARAH, MEMBANGUN INGATAN KRITIS
Akhir September tinggal menghitung hari. Di zaman sebelum reformasi, September menjadi bulan yang horror karena di berbagai sudut negeri akan diputarkan sebuah film Gerakan 30 September atau G30S. Peristiwa G 30 S yang terjadi pada malam 30 September 1965 merupakan salah satu babak paling kelam dalam sejarah Indonesia. Namun, di luar narasi dan polemik politik yang menyertainya, peristiwa ini menawarkan banyak pelajaran berharga dalam konteks pendidikan sejarah, khususnya mengenai pemahaman kekerasan politik, manipulasi kekuasaan, dan pentingnya rekonsiliasi nasional.
Pelajaran dari G 30 S: Kekerasan dan Ideologi
Peristiwa G 30 S sering kali dihubungkan dengan benturan ideologi antara komunisme dan antikomunisme yang mengakibatkan konflik berskala nasional.Â
Dalam pandangan sejarawan Indonesia Asvi Warman Adam, yang berfokus pada sejarah modern Indonesia, peristiwa ini telah dieksploitasi oleh rezim Orde Baru untuk mengkonsolidasikan kekuasaan melalui penghapusan PKI (Partai Komunis Indonesia) dan penguatan militer di ranah politik.Â
Sejarawan seperti Adam mengingatkan kita untuk melihat peristiwa G 30 S sebagai bagian dari dinamika politik global pada masa Perang Dingin, di mana ideologi komunisme dan kapitalisme saling berhadapan, dengan Indonesia terjebak di antara kekuatan besar tersebut.
Sejarawan luar negeri seperti Geoffrey Robinson dari University of California, Los Angeles, juga menekankan betapa besarnya keterlibatan aktor internasional dalam mendukung operasi anti-PKI di Indonesia. Dalam bukunya The Killing Season (2018), Robinson menyoroti peran kekuatan asing, seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang mendukung tindakan militer Indonesia dengan alasan membendung penyebaran komunisme di Asia Tenggara. Hal ini memberi kita perspektif bahwa peristiwa G 30 S dan kekerasan setelahnya tidak dapat dipisahkan dari konteks geopolitik yang lebih luas.
Manipulasi Narasi Sejarah
Penting untuk dipahami bahwa sejarah G 30 S sering kali disajikan dalam kerangka tunggal selama rezim Orde Baru, dengan PKI sebagai kambing hitam utama karena sampai saat ini belum pernah diputuskan oleh pengadilan siapa sesungguhnya pelaku utamanya. Pendidikan sejarah pada masa itu berfungsi untuk melanggengkan narasi resmi, yang menyederhanakan kompleksitas peristiwa tersebut.Â
Sejarawan Indonesia Bonnie Triyana menegaskan bahwa narasi sejarah ini dibentuk untuk membenarkan tindakan militer dan pencitraan Suharto sebagai penyelamat bangsa. Dengan demikian, memaknai peristiwa G 30 S dari perspektif sejarah harus melibatkan kritik terhadap bagaimana narasi tersebut dibangun dan disebarkan.
Di luar negeri, perspektif serupa diutarakan oleh sejarawan John Roosa, yang dalam bukunya Pretext for Mass Murder (2006), mengupas tentang bagaimana narasi kudeta militer pada malam 30 September digunakan sebagai dalih untuk membersihkan kekuatan komunis di Indonesia.Â
Roosa berargumen bahwa peristiwa tersebut merupakan operasi yang sangat rapi dan terorganisasi serta tidak dapat dianggap hanya sebagai kudeta yang gagal oleh PKI, seperti yang lama diajarkan dalam buku-buku pelajaran sejarah di Indonesia .