Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dampak Pengerukan Pasir Laut dan Kontroversi Kebijaksan Ekspor

23 September 2024   21:18 Diperbarui: 23 September 2024   21:24 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi diambil dari: petrominer.com)

DAMPAK PENGERUKAN PASIR LAUT DAN KONTROVERSI KEBIJAKAN EKSPOR

Keputusan pemerintah Indonesia untuk mencabut larangan ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2023 menimbulkan kontroversi luas, terutama di kalangan pegiat lingkungan dan akademisi. Kebijakan ini mengakhiri pelarangan yang telah berlangsung selama lebih dari dua dekade, sejak era Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri, yang melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 33 Tahun 2002, menghentikan ekspor pasir laut untuk melindungi lingkungan pesisir Indonesia dari kerusakan. Dengan terbitnya PP No. 26/2023 dan dua aturan turunan berupa Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 20 Tahun 2024 dan No. 21 Tahun 2024, kebijakan tersebut kini berubah arah, membuka peluang untuk pengerukan pasir laut kembali.

Sebelum mengulik lebih lanjut PP No 26 Tahun 2023 di atas mari kita lihat alasan pelarangan yang dilakukan Presiden Megawati.

Alasan Utama: Menjaga Ekosistem Laut dan Wilayah Pesisir

Pada tahun 2002, pelarangan ekspor pasir laut oleh Megawati didasarkan pada berbagai pertimbangan lingkungan dan sosial. Salah satu alasan utamanya adalah kerusakan lingkungan yang serius akibat pengerukan pasir yang dilakukan secara masif untuk memenuhi permintaan pasar global, khususnya untuk proyek reklamasi di negara tetangga seperti Singapura. Dampak nyata dari praktik ini terlihat dalam bentuk abrasi pantai, penurunan produktivitas perikanan, serta kerusakan terumbu karang dan habitat laut lainnya.

Keppres No. 33/2002 merupakan landasan hukum yang melarang ekspor pasir laut dengan tujuan menjaga keberlanjutan ekosistem laut dan menghindari eksploitasi yang merusak lingkungan. Pengambilan pasir dalam jumlah besar telah merusak keseimbangan alami pesisir, memperburuk abrasi, dan menurunkan kualitas lingkungan pesisir secara keseluruhan. Selain itu, larangan ini juga bermuatan geopolitik, di mana Indonesia ingin melindungi kekayaan alamnya dari eksploitasi negara lain yang menggunakannya untuk proyek pembangunan mereka, tanpa mempertimbangkan dampak negatif bagi Indonesia.

Setelah dua puluh tahun aman (meski yang illegal masih terus terjadi) di ujung kemarau yang panjang tiba-tiba larangan itu dicabut.

(ilustrasi diambil: inibaru.id)
(ilustrasi diambil: inibaru.id)

Pencabutan Larangan oleh Jokowi: Peluang Ekonomi dengan Risiko Lingkungan

Setelah lebih dari 20 tahun larangan berlaku, pemerintahan Joko Widodo memutuskan untuk mencabutnya melalui PP No. 26/2023, yang mengizinkan kembali ekspor pasir laut dengan alasan mengelola hasil sedimentasi. Pemerintah berpendapat bahwa sedimentasi yang terakumulasi di laut dapat menjadi sumber daya ekonomi yang bernilai jika dikelola dengan baik. Sedimentasi yang berlebihan, menurut mereka, berpotensi mengganggu ekosistem laut dan karenanya perlu diambil dan dimanfaatkan.

Namun, para pakar lingkungan seperti Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir Laut dan Pulau Kecil dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menilai bahwa kebijakan ini lebih banyak didorong oleh kepentingan ekonomi jangka pendek tanpa mempertimbangkan kerusakan ekosistem jangka panjang. Pengerukan pasir laut, katanya, berisiko menghancurkan habitat dasar laut yang menjadi rumah bagi terumbu karang, lamun, dan berbagai biota laut. Dampak tersebut pada gilirannya akan merugikan nelayan lokal yang bergantung pada sumber daya laut untuk mata pencaharian mereka.

Secara global, dampak pengerukan pasir laut sudah terbukti menimbulkan kerusakan ekologis yang luas. Dr. Louise Barros, pakar kelautan dari Universitas Plymouth, menyatakan bahwa pengerukan pasir mengganggu keseimbangan alami dasar laut dan mempercepat abrasi pantai. Hal ini akan memperburuk kerentanan wilayah pesisir terhadap bencana alam, seperti banjir dan kenaikan permukaan laut yang dipicu oleh perubahan iklim.

Belum lagi dampak pemanasan global dengan mencairnya es di Kutub Utara dan Selatan, abrasi akan semakin masif. Lalu kita tinggal menunggu alam menerkam kita? Jika sudah demikian apakah para nelayan kecil di pinggir pantai yang akan disalahkan pula?

(ilustrasi diambil dari: petrominer.com)
(ilustrasi diambil dari: petrominer.com)

Dampak Lingkungan dan Ekonomi yang Tak Terkendali

Pengerukan pasir laut tidak hanya mengancam lingkungan, tetapi juga memiliki dampak ekonomi yang merugikan dalam jangka panjang. Pengambilan pasir laut dalam skala besar mengakibatkan abrasi pantai, yang pada akhirnya mengancam infrastruktur dan permukiman di daerah pesisir. Menurut Zainal Arifin, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), abrasi yang dipicu oleh hilangnya pasir secara besar-besaran dapat menyebabkan garis pantai semakin mendekat ke pemukiman warga, menambah kerentanan bencana di daerah tersebut.

Pakar kelautan lainnya, David Tickler dari Universitas Australia Barat, menyoroti dampak kekeruhan air laut yang diakibatkan oleh pengerukan pasir. Proses ini menyebabkan akumulasi sedimen di kolom air, yang mempengaruhi produktivitas ekosistem laut, seperti fitoplankton dan organisme lainnya yang bergantung pada sinar matahari. Penurunan produktivitas laut ini secara langsung berpengaruh terhadap hasil perikanan, yang pada akhirnya akan merugikan nelayan lokal dan mengganggu ketahanan pangan.

Selain itu, pakar ekonomi lingkungan Dr. Muhammad Yusran dari Universitas Hasanuddin memperingatkan bahwa keuntungan jangka pendek dari ekspor pasir laut tidak sebanding dengan biaya lingkungan yang harus ditanggung dalam jangka panjang. Kerusakan yang terjadi pada ekosistem laut dan pesisir akan memerlukan upaya rehabilitasi yang sangat mahal, dan sering kali hasilnya tidak bisa mengembalikan kondisi alam seperti semula.

(ilustrasi diambil dari: bangka.tribunnews.com)
(ilustrasi diambil dari: bangka.tribunnews.com)

Kesimpulan

Kebijakan pencabutan larangan ekspor pasir laut oleh pemerintahan Jokowi melalui PP No. 26/2023 membawa polemik antara kepentingan ekonomi jangka pendek dan keberlanjutan lingkungan jangka panjang. Di satu sisi, pemerintah berusaha memanfaatkan sedimentasi laut sebagai komoditas yang bernilai ekonomi. Di sisi lain, para pakar kelautan dan lingkungan memperingatkan bahwa eksploitasi pasir laut akan merusak ekosistem yang rapuh dan meningkatkan risiko bencana alam di wilayah pesisir.

Larangan yang diberlakukan oleh Presiden Megawati pada tahun 2002 berlandaskan pada perlindungan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir, yang pada saat itu sangat terdampak oleh pengerukan pasir. Dengan pencabutan larangan ini, risiko terhadap lingkungan dan ekosistem laut kembali muncul, menimbulkan kekhawatiran akan kerusakan yang lebih parah di masa depan. Pemerintah perlu menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan keberlanjutan ekosistem dan melibatkan para pakar dalam pengambilan kebijakan agar dampak negatif dapat diminimalkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun