Pilihan Rian
Rian duduk di ruang tamu, matanya menerawang ke arah jendela yang menampilkan pemandangan perumahan yang sepi. Udara sore yang hangat terasa menenangkan, tapi pikirannya justru berkecamuk. Di pangkuannya, tergeletak brosur layanan kesehatan yang diberikan oleh bidan saat istrinya, Nina, baru saja melahirkan anak ketiga mereka. Di atas brosur itu, tercantum satu kata yang belakangan ini sering kali terdengar di rumah mereka: vasektomi.
"Aku nggak minta banyak, kok. Cuma ini saja," ujar Nina, suaranya lirih namun tegas. "Kita sudah punya tiga anak, Rian. Kamu tahu sendiri bagaimana repotnya mengurus mereka, apalagi aku juga bekerja. Masa depan mereka harus kita pikirkan. Aku nggak sanggup kalau kita sampai punya anak lagi."
Rian tahu Nina tidak mengada-ada. Mereka memang menikah muda---usia mereka baru memasuki awal tiga puluhan, tapi tiga anak di usia semuda itu adalah tantangan besar. Kebutuhan hidup yang semakin mahal, pendidikan yang tidak murah, dan tenaga yang terkuras setiap hari menjadi alasan bagi Nina untuk meminta Rian mengambil langkah pasti: vasektomi.
Namun, bagi Rian, permintaan itu lebih sulit diterima daripada yang bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Kenapa harus aku yang melakukan vasektomi?" tanya Rian suatu hari setelah Nina membahas topik itu untuk kesekian kalinya. "Kita masih muda, dan banyak cara lain untuk mencegah kehamilan tanpa harus vasektomi atau tubektomi."
Nina menghela napas. "Kamu pikir aku tidak mempertimbangkan itu? Tapi kita sudah coba berbagai metode kontrasepsi, dan setiap kali aku yang harus menanggung efek sampingnya. Pil KB bikin aku pusing, spiral bikin perutku kram terus-menerus. Kalau bukan aku, kenapa harus kamu yang tidak bisa berkorban sedikit saja?"
Rian ingin membantah, tapi kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Dia tahu Nina benar. Selama ini, memang Nina yang lebih banyak menanggung beban kontrasepsi. Tapi tetap saja, vasektomi terasa seperti keputusan besar yang tidak mudah diambil. Bagi Rian, itu seperti menyerahkan sebagian dari dirinya yang masih berharga. Seolah-olah keputusan itu adalah pengunci pintu terakhir ke masa mudanya.
**
Malam itu, saat anak-anak sudah tidur, Rian dan Nina duduk di meja makan. Suasana rumah sunyi, hanya suara detak jam dinding yang terdengar. Rian menyuapkan nasi terakhir ke mulutnya, berusaha mencari waktu untuk memulai pembicaraan yang sudah lama dia tunda.
"Aku sudah pikirkan permintaanmu," katanya pelan. Nina mengangkat kepalanya dari piring, menatap Rian dengan pandangan menunggu. "Tapi aku masih merasa ada cara lain. Kita bisa coba KBA---Kontrasepsi Alamiah."
Nina mengerutkan alis. "KBA? Maksudmu mengandalkan siklus menstruasi dan kalender? Kamu yakin itu akan berhasil? Banyak yang bilang itu berisiko tinggi."
Rian mengangguk pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri lebih dari meyakinkan Nina. "Ya, kita bisa pelajari caranya. Ini lebih alami, nggak ada campur tangan hormon atau operasi. Kita masih bisa... ya, kamu tahu, tanpa harus khawatir terus-menerus."
Nina terdiam. Rian tahu bahwa Nina ingin menolak ide itu, tapi ia juga tahu Nina selalu berusaha untuk mendengarkan. Selalu mencoba memahami perspektifnya.
"Rian, aku tahu kamu nggak mau vasektomi, tapi kamu sadar kan, risikonya? Kita nggak bisa terus-terusan hidup dalam ketidakpastian. Kamu tahu kan kita nggak mungkin membesarkan anak lebih banyak dari ini. Apa kamu siap kalau ternyata metode alami itu gagal?"
Rian tidak bisa menjawab. Pikirannya berputar---membayangkan dirinya terjebak dalam rutinitas membesarkan anak lebih banyak dari yang bisa mereka tanggung. Beban ekonomi yang semakin besar, waktu yang semakin sedikit untuk bersama, dan hubungan mereka yang perlahan merenggang karena kelelahan yang tak berujung.
Namun di sisi lain, gagasan tentang vasektomi terasa menakutkan. Bukan karena prosedur medisnya, melainkan implikasi emosionalnya. Rian merasa seolah-olah akan kehilangan kontrol atas tubuhnya, atau lebih buruk lagi, kehilangan bagian dari identitasnya sebagai pria.
**
Beberapa hari berlalu. Rian terus bergelut dengan pikirannya, dan Nina pun tampaknya sudah lelah dengan perdebatan yang tak kunjung selesai. Suatu malam, Rian berbaring di tempat tidur sambil memikirkan kembali kehidupan yang mereka jalani. Di tengah malam, terlintas sebuah pikiran yang tak pernah dia duga sebelumnya: seandainya ada cara untuk mengembalikan semuanya ke awal, apakah dia akan memilih jalan yang sama?
Rian terbangun di pagi harinya dengan hati yang terasa berat. Dia bangun lebih awal dari biasanya, berjalan ke ruang tamu, dan duduk di sana, menatap brosur vasektomi yang masih tergeletak di meja. Kali ini, kata-kata yang tertulis di atasnya terasa berbeda. Rian menarik napas panjang, lalu meraih ponselnya dan mengetik pesan singkat kepada Nina yang sedang menyiapkan sarapan di dapur:
"Aku sudah buat keputusan."
Beberapa saat kemudian, Nina keluar dari dapur, menatap Rian dengan penuh harap sekaligus waspada. "Apa kamu sudah yakin?" tanya Nina hati-hati.
Rian mengangguk. "Aku mau melakukannya. Vasektomi. Mungkin ini cara terbaik buat kita berdua dan buat anak-anak."
Nina terdiam sejenak, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Kemudian, perlahan-lahan, senyum lega muncul di wajahnya.
"Kamu yakin?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut.
"Aku yakin," jawab Rian. "Aku tahu ini bukan keputusan mudah, tapi setelah kupikir-pikir, ini yang paling masuk akal. Bukan cuma buat kamu, tapi buat kita semua."
Nina mendekat, lalu memeluk Rian erat-erat. "Terima kasih," bisiknya.
Rian merasakan kelegaan, meski jauh di dalam hatinya, ada sedikit rasa takut yang masih tersisa. Namun, kali ini dia siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
**
Beberapa minggu setelah operasi vasektomi, kehidupan Rian kembali normal. Prosedurnya ternyata jauh lebih sederhana daripada yang ia bayangkan, dan rasa khawatirnya secara bertahap memudar. Namun, yang paling mengejutkan bagi Rian adalah perubahan perasaan Nina terhadapnya.
Nina menjadi lebih tenang, lebih bahagia. Beban yang selama ini dipikulnya secara diam-diam terasa terangkat. Hubungan mereka pun menjadi lebih harmonis, lebih dekat daripada sebelumnya. Mereka berdua merasa seolah-olah sebuah babak baru telah dimulai dalam hidup mereka---babak di mana mereka bisa lebih fokus pada masa depan keluarga tanpa rasa khawatir yang berlebihan.
Satu malam, Rian duduk di teras rumah sambil menatap langit malam yang jernih. Sambil tersenyum kecil, ia berpikir betapa keputusan itu---yang awalnya begitu berat---ternyata membawa perubahan yang lebih baik dari yang ia bayangkan. Dalam hati, ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, ia telah membuat pilihan yang tepat.
Tiba-tiba, Nina keluar, membawa dua cangkir teh hangat. Ia duduk di sebelah Rian dan berkata, "Kamu tahu, aku senang kamu akhirnya memilih vasektomi. Tapi, ada satu hal yang belum aku kasih tahu."
Rian menoleh, penasaran. "Apa itu?"
Nina tersenyum misterius. "Aku baru sadar, kita ini punya kembar, Ri. Jadi, meskipun kamu sudah vasektomi... kita sebenarnya akan punya satu lagi."
Rian terdiam, terpaku pada kata-kata Nina. Satu lagi? Mata Nina yang bersinar penuh keisengan hanya membuat Rian tersenyum kecut. Ternyata, keputusan besar itu... tidak sepenuhnya menutup babak baru dalam hidup mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H