Perjalanan Penuh Rahmat
Relfeksi 60 Tahun Pernikahan Ayahanda Tjiptadinata Effendi dan Ibunda Roselina Tjiptadinata
Pada bulan Januari 2025, Ayahanda Tjiptadinata Effendi dan Ibunda Roselina Tjiptadinata akan merayakan 60 tahun pernikahan mereka, sebuah pencapaian luar biasa yang menandai perjalanan panjang sebagai suami istri, orang tua bagi anak-anak mereka, serta opa dan oma yang penuh kasih bagi cucu dan cicit.Â
Perjalanan ini bukanlah sebuah kisah yang mudah, tetapi merupakan refleksi dari berkat dan karunia Tuhan yang menyertai langkah-langkah mereka. Selama enam dekade, mereka telah menjalankan peran mereka sebagai ecclesia domestica, tempat di mana iman dan karakter dibentuk dan diwariskan kepada generasi berikutnya.
Sebuah Janji yang Ditepati: Menghidupi Suka dan Duka Bersama
Pernikahan adalah sebuah janji yang diikrarkan di hadapan Tuhan, janji untuk hidup bersama "dalam untung dan malang, dalam suka dan duka." Ayahanda dan Ibunda, selama 60 tahun ini, telah menunjukkan kepada dunia bagaimana janji ini dihidupi dengan tulus dan penuh komitmen.Â
Dalam setiap perjalanan panjang pernikahan, pasti ada badai yang datang menghampiri, dan begitulah kehidupan. Namun, yang luar biasa adalah kemampuan mereka untuk tetap bertahan, saling menguatkan satu sama lain, serta mempersembahkan segala kesulitan kepada Tuhan.
Dari aneka tulisan keduanya di kompasiana dapat ditemukan bahwa dalam masa-masa sulit, mereka tidak pernah menyerah atau mencari pelarian. Sebaliknya, mereka menghadapinya bersama, saling mendukung dengan cinta dan keyakinan yang teguh bahwa mereka tidak pernah benar-benar sendirian. Tuhan hadir di tengah-tengah pernikahan mereka. Salah satu nilai yang patut diteladani dari perjalanan mereka adalah keteguhan hati untuk terus berjuang bersama.Â
Di zaman sekarang, ketika godaan untuk menyerah dan mencari kebahagiaan instan begitu besar, kisah Ayahanda dan Ibunda menjadi inspirasi bagi keluarga masa kini untuk memahami bahwa cinta yang sejati tumbuh melalui pengorbanan, kesetiaan, dan perjuangan bersama.
Kebiasaan Menyapa: Teladan Perhatian yang Patut Ditiru
Salah satu kebiasaan yang menunjukkan perhatian dan kasih sayang Ayahanda dan Ibunda adalah cara mereka selalu menyapa para Kompasianer lainnya. Meskipun telah memiliki banyak pengalaman dan perjalanan hidup, mereka tidak pernah merasa lebih tinggi atau lebih penting dari orang lain. Mereka selalu menyapa, menghargai, dan mendengarkan setiap orang yang mereka temui melalui setiap laman kompasianer, baik dalam konteks formal maupun informal. Kebiasaan ini mencerminkan sikap rendah hati dan keinginan mereka untuk berbagi kasih kepada orang lain.
Ayahanda bergabung dengan Kompasiana pada 14 Oktober 2012 (artinya sudah 12 tahun ikut membesarkan kompasiasa) telah menulis 7.429 artikel dengan Artikel Utama sebanyak 563 (lebih banyak dari keseluruhan tulisan saya di Kompasiana), Artikel Pilihan sebanyak 6.401. Memiliki follower sebanyak 5090 dan mengikuti 4138 akun lainnya. Keseluruhan tulisan ayahanda telah dilihat oleh 6.807.113 kali (pasang mata). Sedangkan Ibunda bergabung di Kompasiana sejak 12 Januari 2013 (beberapa bulan setelah Ayahanda). Telah menulis 1.641 artikel dan dilihat oleh 1.320.343 pasang mata, mengikuti 2904 orang dan diikuti oleh 2550 orang. Keduanya boleh dibilang termasuk senior di Kompasiana, tapi masih mau menyapa kami yang muda-muda.
Dalam dunia yang sering kali terjebak dalam kesibukan dan individualisme, teladan perhatian ini menjadi pelajaran berharga. Mereka menunjukkan bahwa setiap orang, tanpa memandang latar belakang, berhak mendapatkan perhatian dan kasih sayang. Sapa hangat dan senyuman mereka tidak hanya menciptakan rasa nyaman bagi orang lain, tetapi juga menumbuhkan rasa saling menghargai dan menghormati dalam komunitas. Ini adalah nilai yang sangat relevan bagi keluarga masa kini, yang sering kali membutuhkan pengingat untuk tidak hanya fokus pada diri sendiri, tetapi juga pada orang-orang di sekitar mereka.
Nilai-Nilai yang Menghidupi Pernikahan Mereka
Tentu sepanjang 60 tahun hidup bersama sebagai suami istri, ayahanda dan ibunda sudah menghidupi nilai-nilai yang selama ini menguatkan mereka. Saya mencatat ada lima nilai yang bisa kita timba atau belajar dari mereka berdua.
Pertama, Iman sebagai Fundasi. Dalam sebuah keluarga yang berfungsi sebagai ecclesia domestica, iman kepada Tuhan menjadi fondasi yang tidak bisa digoyahkan. Ayahanda dan Ibunda telah menjadikan rumah mereka sebagai tempat pendidikan iman, di mana anak-anak belajar mengenal Tuhan sejak usia dini. Mereka mengajarkan bahwa dalam segala hal, baik dalam kebahagiaan maupun dalam kesulitan, iman harus menjadi penopang utama. Doa bersama, ibadah rutin, serta kebiasaan membaca Kitab Suci telah menjadi bagian integral dari kehidupan keluarga ini. Mereka tidak hanya mengajarkan iman dengan kata-kata, tetapi juga melalui teladan hidup.
Kedua, Cinta Kasih yang Tulus. Pernikahan mereka dibangun atas dasar cinta kasih yang tulus, yang terus berkembang seiring waktu. Cinta yang mereka miliki bukan hanya sekadar perasaan, tetapi sebuah komitmen yang diwujudkan dalam tindakan nyata. Dalam setiap momen kehidupan, baik dalam membesarkan anak-anak maupun dalam mendidik cucu, cinta mereka selalu hadir sebagai dorongan utama. Ayahanda dan Ibunda menunjukkan bahwa cinta sejati adalah ketika kita menempatkan kebutuhan pasangan dan keluarga di atas keinginan pribadi.
Ketiga, Kesetiaan dalam Perjalanan. Enam puluh tahun adalah waktu yang sangat lama, dan kesetiaan mereka kepada satu sama lain adalah bukti nyata dari janji pernikahan yang mereka ucapkan dahulu. Mereka tetap setia dalam segala keadaan, baik dalam masa-masa kesulitan finansial, tantangan kesehatan, maupun dalam pergumulan emosional. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh godaan ini, kesetiaan menjadi salah satu nilai yang sering diabaikan. Namun, Ayahanda dan Ibunda telah menunjukkan bahwa kesetiaan adalah salah satu kunci keberhasilan dalam menjalani pernikahan yang panjang.
Keempat, Pengampunan sebagai Wujud Cinta. Tidak ada hubungan yang sempurna, dan dalam pernikahan, pasti ada momen-momen di mana kesalahan terjadi. Namun, Ayahanda dan Ibunda telah mengajarkan bahwa pengampunan adalah bagian penting dari cinta sejati. Mereka memahami bahwa manusia tidak sempurna dan kesalahan adalah bagian dari hidup. Namun, daripada memperbesar kesalahan, mereka memilih untuk mengampuni, memperbaiki, dan melangkah maju bersama. Pengampunan tidak hanya menyembuhkan hubungan, tetapi juga membuat cinta semakin kuat. Cinta yang dibangun atas dasar pengampunan telah membuat mereka berjalan sangat jauh hingga hari ini.
Kelima, Kerendahan Hati dan Kebersamaan. Salah satu nilai lain yang selalu dihidupi oleh Ayahanda dan Ibunda adalah kerendahan hati. Mereka tidak pernah merasa lebih baik satu sama lain, tetapi selalu saling mendukung dengan kebersamaan. Mereka percaya bahwa pernikahan adalah tentang melayani, bukan dilayani. Kebersamaan yang mereka jalani selama ini menjadi contoh nyata bagi generasi berikutnya tentang bagaimana pernikahan adalah sebuah kolaborasi, di mana kedua pihak saling melengkapi.
Ecclesia Domestica: Tempat Pendidikan Iman dan Karakter
Salah satu warisan terbesar dari Ayahanda dan Ibunda adalah peran mereka dalam membangun rumah sebagai ecclesia domestica, gereja kecil di tengah keluarga. Mereka memahami bahwa pendidikan iman tidak hanya diajarkan di gereja atau sekolah, tetapi juga di rumah, melalui setiap percakapan, tindakan, dan keputusan yang mereka buat. Anak-anak mereka tumbuh dalam lingkungan yang sarat akan nilai-nilai kekristenan, di mana kasih, pengampunan, dan kebaikan menjadi prinsip yang dipegang teguh.
Melalui keteladanan Ayahanda dan Ibunda, cucu-cucu mereka juga belajar tentang pentingnya hidup dalam integritas dan iman yang kokoh. Mereka tahu bahwa iman bukan hanya tentang doa atau ibadah, tetapi tentang bagaimana menghadapi setiap tantangan hidup dengan kepala tegak, hati yang tenang, dan keyakinan bahwa Tuhan selalu menyertai.
Inspirasi bagi Keluarga Masa Kini
Di era modern ini, keluarga sering kali dihadapkan pada berbagai tantangan yang menggerogoti keharmonisan, mulai dari kesibukan pekerjaan, distraksi teknologi, hingga tekanan sosial. Namun, perjalanan 60 tahun Ayahanda dan Ibunda Tjiptadinata menjadi bukti bahwa dengan fundasi iman yang kuat, cinta kasih yang tulus, dan komitmen yang teguh, pernikahan yang harmonis bukanlah hal yang mustahil untuk dicapai.
Nilai-nilai yang mereka hidupi selama ini, seperti kesetiaan, pengampunan, kebersamaan, dan kerendahan hati, adalah nilai-nilai yang dapat diteladani oleh keluarga masa kini. Mereka mengajarkan bahwa kebahagiaan dalam pernikahan bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya, melainkan hasil dari kerja keras, pengorbanan, dan ketekunan.
Ayahanda dan Ibunda Tjiptadinata telah menjalani kehidupan pernikahan mereka sebagai sebuah panggilan, di mana mereka tidak hanya membangun rumah tangga, tetapi juga menanamkan iman dan karakter yang kuat kepada anak-anak, cucu, dan cicit mereka. Perjalanan mereka adalah kisah penuh rahmat, bukti nyata dari kuasa Tuhan yang bekerja dalam kehidupan mereka.
Semoga pernikahan yang diberkati ini menjadi inspirasi bagi kita semua, untuk terus hidup dalam kasih dan iman, setia dalam setiap keadaan, dan selalu mengandalkan Tuhan di setiap langkah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H