NEBENG
Kerajaan Darmol terkenal sebagai negeri makmur dengan penduduk yang taat pada aturan. Di bawah pemerintahan Raja Lurano yang bijaksana, kerajaan ini tumbuh subur dan sejahtera. Namun, di balik gemerlapnya kemakmuran itu, tersembunyi polemik yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan rakyatnya. Masalahnya terletak pada generasi muda keluarga kerajaan yang kerap bertindak sesuka hati. Masyarakat mulai resah dengan perilaku para pangeran dan putri yang dianggap tak layak, terutama karena jabatan dan gelar yang mereka emban.
Salah satu yang paling mencolok adalah Pangeran Dario, seorang pemuda tampan yang dipilih sebagai Duta Baca Kerajaan. Jabatan ini seharusnya diisi oleh orang yang gemar membaca dan menginspirasi masyarakat untuk mencintai buku. Namun, Pangeran Dario justru dikenal sebagai seseorang yang malas membaca. Banyak rakyat Darmol yang kecewa melihat sosok Dario yang sering tertangkap basah menguap di perpustakaan kerajaan, memegang buku hanya sebagai hiasan untuk menghindari sorotan.
"Dia hanya nebeng nama baik keluarga kerajaan," keluh seorang pedagang buku di pasar. "Bagaimana bisa orang yang bahkan tak pernah menyelesaikan satu buku pun dipilih sebagai Duta Baca?"
Di samping Dario, ada Putri Valeria yang gemar menghambur-hamburkan harta. Setiap pekan, ia mengadakan pesta mewah yang mengguncang istana, lengkap dengan hiburan dan makanan mahal. Anehnya, pihak kerajaan selalu menyebut kegiatan ini sebagai bentuk "amal".
"Putri Valeria itu suka beramal dengan menghamburkan uangnya di pesta-pesta? Bukankah seharusnya amal itu untuk membantu yang membutuhkan?" gumam seorang warga yang heran. Setiap kali ada pesta besar di istana, warga hanya bisa mendengar dentingan gelas kristal dan tawa riang para bangsawan, sementara rakyat jelata hanya bisa menatap iri dari luar tembok istana.
Namun, yang paling kontroversial dari semua adalah Pangeran Fabian, anak bungsu Raja Lurano. Pangeran Fabian dikenal suka nebeng nama besar ayahnya. Ia bertugas sebagai penjaga gerbang kerajaan. Sang Raja, yang memiliki wewenang penuh menentukan siapa yang boleh memasuki istana dan siapa yang tidak, selalu dikenal sebagai orang yang tegas dan adil. Namun, berbeda dengan ayahnya, Fabian justru menggunakan posisi dan pengaruh ayahnya untuk kepentingan pribadi. Ia sering kali menyelewengkan wewenang, memberikan izin kepada orang-orang tertentu yang menyuapnya untuk bisa mengakses tempat-tempat khusus di dalam kerajaan.
"Fabian itu, kalau bukan karena ayahnya, dia pasti sudah tak punya kuasa apa-apa," ujar seorang prajurit kerajaan yang geram.
Suasana semakin memanas ketika muncul protes dari kalangan rakyat. Banyak yang merasa bahwa kerajaan Darmol tak lagi dipimpin dengan hati. Jabatan-jabatan penting diberikan kepada anak-anak yang tak layak, hanya karena mereka menumpang nama besar keluarga kerajaan.
*
Pada suatu hari, kerusuhan kecil meletus di pusat kota. Warga berkumpul di alun-alun untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka. Spanduk-spanduk besar berkibar dengan tulisan-tulisan yang mencerminkan keresahan mereka: "Nebeng Bukan Kepemimpinan!", "Baca Buku Dulu, Duta Baca!", dan "Pesta Bukan Amal!".
Namun, di saat ketegangan meningkat, justru muncul kabar yang mengejutkan. Pangeran Dario, yang selama ini dikenal malas membaca, mengeluarkan sebuah pernyataan yang mengejutkan banyak pihak.
"Sudah waktunya aku mengakui, bahwa aku dipilih sebagai Duta Baca bukan karena kemampuan atau kecintaanku pada buku," katanya dalam pidato publik. "Aku hanya nebeng dari gelar kerajaan yang diberikan ayahku. Tapi apa salahnya? Bukankah kita semua, dalam satu atau lain cara, nebeng dari sesuatu?"
Pidato itu memicu kehebohan. Masyarakat terpecah. Sebagian merasa bahwa pernyataan Dario itu jujur dan mencerminkan kenyataan hidup yang sulit mereka terima. Sebagian lagi menganggapnya sebagai pembelaan diri yang tak bertanggung jawab. Warga yang sudah muak dengan kebijakan kerajaan semakin marah. Protes semakin keras, namun pihak istana tetap diam.
Putri Valeria tak mau ketinggalan. Ketika dia mendengar kabar bahwa Dario mengaku nebeng, dia pun menanggapinya dengan senyum licik. Dalam sebuah pesta besar yang diadakan untuk para bangsawan, ia berdiri di hadapan tamu-tamu yang berpakaian mewah dan berkata, "Jika Dario nebeng nama besar ayah, aku nebeng kebebasan yang diberikan uang. Bukankah amal itu bermacam-macam bentuknya? Dan pesta adalah salah satunya. Aku menghibur orang-orang, memberi mereka kesempatan untuk bersenang-senang. Aku menyewa tempat, membeli kuliner rakyat. Tidakkah itu bentuk amal yang paling menyenangkan?"
Tamu-tamu yang hadir tertawa, seolah-olah ucapan Valeria hanyalah lelucon yang tak berarti. Namun bagi rakyat, itu seperti tamparan di wajah. Kesenjangan antara istana dan rakyat semakin nyata, dan kemarahan semakin memuncak.
**
Di sisi lain, Pangeran Fabian tidak tinggal diam. Dalam sebuah pertemuan rahasia dengan sekelompok pebisnis gelap yang sering mendapat keuntungan dari akses istana, ia berbicara dengan nada tenang namun penuh keyakinan. "Ayahku, Raja Lurano, memang raja yang baik. Tapi aku yang menentukan siapa yang boleh masuk, dan siapa yang tidak. Tanpa aku, pintu gerbang itu hanyalah pintu yang terkunci, tak ada yang bisa melewatinya."
Ucapan Fabian terdengar seperti ancaman. Ia sadar bahwa posisinya sangat bergantung pada kekuasaan ayahnya, tetapi ia menggunakan situasi itu untuk mempermainkan mereka yang ingin masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Ia nebeng pada wewenang ayahnya untuk memperkuat pengaruhnya sendiri.
***
Ketiga anak kerajaan itu --- Dario, Valeria, dan Fabian --- sama-sama terjebak dalam permainan nebeng yang mereka ciptakan sendiri. Sementara itu, rakyat semakin bingung dengan apa yang terjadi di dalam istana. Mereka berharap ada perubahan, namun sepertinya tidak ada yang berubah.
Sebuah bisik-bisik mulai menyebar di kalangan istana dan masyarakat. Ada rumor bahwa Raja Lurano telah mengetahui segalanya, namun ia memilih diam. Apakah ia tengah merencanakan sesuatu? Atau justru ia bagian dari skenario yang dimainkan oleh anak-anaknya? Apalagi ia terkenal sebagai pahlawan di mata anak-anaknya, bukan mata rakyatnya.
Ketika para penasihat kerajaan ditanya, mereka hanya menggelengkan kepala dan berkata, "Siapa yang tahu apa yang terjadi di balik tembok istana? Di sini, semuanya bisa terjadi, dan terkadang, kita semua hanyalah penumpang dalam sebuah permainan besar."
Pada akhirnya, kerajaan Darmol terus berjalan. Rakyat tetap merasakan kegelisahan, sementara di dalam istana, permainan nebeng terus berlanjut, tanpa ada yang benar-benar tahu siapa yang memegang kendali.
Atau mungkin, tidak ada yang memegang kendali sama sekali.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI