Rasa yang Tak Terlupakan
Setiap kali suara gerimis mengalun di atap rumah, ingatan tentang bumbu kacang selalu menyeruak di benak Sambaladi. Entah mengapa, di antara banyak kenangan masa kecilnya, aroma bumbu kacang buatan ibunya selalu menjadi yang paling kuat, paling mengakar, paling tak terlupakan meski kini sudah berkeluarga sendiri. Hari ini, dia terjebak di dapur kecil apartemennya yang modern namun terasa begitu asing. Hujan di luar seperti memanggilnya untuk menghidupkan kembali satu tradisi yang selalu berhasil menghangatkan hatinya - membuat bumbu kacang.
"Sambaladi, kenapa sih kamu suka sekali sama bumbu kacang?" tanya Sambalado, suaminya, yang sesekali datang mencium aroma rempah yang sedang diolah di dapur.
Sambaladi tersenyum kecil. Baginya, pertanyaan itu adalah sebuah nostalgia yang tak bisa dijawab dengan satu kalimat sederhana. Bagaimana bisa menjelaskan bahwa bumbu kacang bukan sekadar pelengkap makanan? Itu adalah jantung dari setiap makan siang keluarga, pengikat suasana, dan pengantar canda tawa yang akrab.
"Karena rasanya seperti rumah," jawab Sambaladi singkat, namun penuh makna. Matanya berbinar saat ia menuangkan kacang tanah yang sudah disangrai ke dalam cobek besar. Setiap kali ia menumbuk kacang, satu per satu ingatan masa kecilnya kembali terangkai. Ingat bagaimana ibunya yang cekatan menumbuk kacang dengan senyum yang merekah indah.
***
Sambaladi kecil selalu duduk di sudut dapur, memperhatikan ibunya mengolah bumbu kacang dengan cara yang sama. Tumbukan yang dilakukan perlahan, menciptakan irama yang menenangkan. Kacang yang baru saja disangrai mengeluarkan aroma gurih yang langsung menyebar ke seluruh rumah. Cabai merah dan bawang putih bergabung dalam cobek, diikuti gula merah dan sedikit asam jawa. Ibunya mengatakan bahwa keseimbangan rasa itu penting - gurih, manis, sedikit pedas, dan segar dari asam. Satu kesalahan dalam proporsi akan membuat bumbu kacang kehilangan magisnya.
Hari Minggu selalu menjadi hari spesial. Itulah saat di mana seluruh keluarga berkumpul, duduk di meja makan yang penuh dengan hidangan: sate ayam, lontong, sayuran rebus, dan tentu saja, bumbu kacang yang ditunggu-tunggu. Sambaladi ingat betapa antusiasnya ia setiap kali mencelupkan potongan lontong ke dalam saus kental itu. Gurihnya kacang berpadu sempurna dengan manisnya gula merah dan sentuhan pedas dari cabai. Sederhana, tapi terasa sempurna.
Di antara semua jenis bumbu kacang, bumbu pecel adalah favorit Sambaladi. Ada sesuatu yang sangat nyaman dan familiar dari rasa kacang yang disiramkan di atas sayuran rebus. Pecel ibunya adalah lambang kasih sayang. Tak pernah ada resep pasti, semuanya berdasarkan perasaan. Terkadang lebih pedas, terkadang lebih manis, tapi selalu memberikan kehangatan yang sama.
Suatu hari, saat Sambaladi mulai beranjak dewasa, ibunya mengajaknya untuk benar-benar mempelajari cara membuat bumbu kacang. Bukan lagi sekadar duduk di sudut dapur, melainkan ikut terlibat. Dia mengajarkan cara memilih kacang yang baik, menyusun bahan-bahan, dan yang paling penting, merasakan setiap langkah.