Untuk memutus mata rantai derita ini, diperlukan langkah-langkah komprehensif. Pertama, pemerintah harus memperketat pengawasan terhadap jalur pengiriman PMI non-prosedural. Edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya bekerja secara legal dan prosedural juga harus ditingkatkan. Pelatihan keterampilan yang lebih baik di dalam negeri dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pekerjaan di luar negeri.
Selain itu, peningkatan kesejahteraan ekonomi di dalam negeri menjadi kunci utama. Pekerja migran non-prosedural sering kali nekat merantau karena tekanan ekonomi yang sangat besar di kampung halaman. Pemerintah harus lebih serius dalam menciptakan lapangan kerja dan memberikan akses yang lebih mudah bagi masyarakat untuk mendapatkan penghasilan yang layak.
Dari sisi hukum, perlindungan terhadap PMI, baik prosedural maupun non-prosedural, harus lebih diperkuat. Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan upaya diplomasi dengan negara-negara tujuan agar hak-hak PMI di luar negeri dapat lebih terlindungi. Sistem pengawasan yang lebih ketat terhadap perekrut ilegal juga perlu diterapkan, disertai hukuman tegas bagi pihak-pihak yang memanfaatkan kelemahan masyarakat dalam mencari pekerjaan.
Menciptakan Rasa Manis dalam Pahitnya Hidup
Puisi "Kopi yang Terus Pahit" tidak hanya mengisahkan nasib pekerja migran non-prosedural yang tragis, tetapi juga menggambarkan ketidakberdayaan sistem. Namun, penderitaan ini bisa diatasi jika negara hadir secara lebih efektif. Dengan perlindungan hukum yang lebih baik, pengawasan yang lebih ketat, dan peningkatan kesejahteraan ekonomi di dalam negeri, kita dapat memutus mata rantai pahit ini, dan menciptakan secercah manis di tengah getirnya perjuangan hidup.
Ini adalah refleksi dari ketidakberdayaan sistem yang seharusnya melindungi mereka, namun malah membiarkan mereka terjerat dalam siklus kerja tanpa perlindungan yang memadai. Kepahitan yang digambarkan dalam puisi ini merepresentasikan kondisi nyata di mana pekerja migran sering kali terabaikan oleh negara, baik dalam hal perlindungan hukum maupun dukungan sosial.
Namun, narasi ini juga membawa harapan. Puisi tersebut menunjukkan bahwa penderitaan ini tidak harus abadi. Jika negara hadir secara lebih tegas dengan pengawasan yang lebih ketat terhadap agen-agen ilegal, penerapan undang-undang perlindungan yang lebih efektif, serta penyediaan alternatif ekonomi yang lebih baik di dalam negeri, maka mata rantai pahit ini bisa terputus. Dengan demikian, nasib para pekerja migran bisa diperbaiki, dan rasa pahit yang mereka alami bisa berganti dengan secercah manis dalam hidup mereka.
Secara filosofis, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tanggung jawab bersama: bagaimana kebijakan yang lebih manusiawi, sistem yang lebih responsif, dan kesejahteraan ekonomi dapat mengubah nasib mereka yang selama ini hanya mengecap pahitnya kopi kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H