Mengapa Literasi Harus Diperjuangkan?
(Refleksi Hari Aksara Nasional dan Internasional)
Â
Hari Aksara Internasional diperingati setiap tanggal 8 September. Di Indonesia, tanggal yang sama juga digunakan untuk memperingati Hari Aksara Nasional, sebagai bagian dari upaya global dan nasional untuk mengentaskan buta aksara dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya literasi.
Peringatan Hari Aksara sangat penting untuk menyoroti peran vital literasi dalam kehidupan sehari-hari. Literasi bukan hanya soal kemampuan teknis membaca dan menulis, tetapi juga mencakup kemampuan untuk memahami dan memproses informasi, serta mengaplikasikannya dalam konteks sosial dan ekonomi.
Menurut data UNESCO, sekitar 750 juta orang dewasa di seluruh dunia masih buta aksara, dan sebagian besar di antaranya adalah perempuan. Di Indonesia sendiri, angka buta aksara telah menurun secara signifikan, tetapi masih ada lebih dari 1,5 juta orang yang belum bisa membaca dan menulis, terutama di daerah terpencil dan marjinal. Oleh karena itu, peringatan Hari Aksara menjadi momentum penting untuk meningkatkan kesadaran dan kerjasama antar pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat dalam menuntaskan buta aksara. Atau bisa kita bandingkan dengan data BPS soal angka buta aksara secara nasional dari 38 provinsi berdasarkan rentang umur per tahun 2023 yakni umur 15+ ada sebanyak 3,47%, 14-14 tahun 0,47% dan 45+ sebanyak 8,04%. (lihat https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTAyIzI=/percentage-of-illiteracy.html)Â
Pandangan Ahli Tentang Pentingnya Literasi
Ahli pendidikan terkenal seperti Paulo Freire, dalam bukunya "Pedagogy of the Oppressed", menekankan bahwa literasi adalah alat pembebasan. Menurut Freire, literasi bukan hanya keterampilan teknis, tetapi juga sarana bagi individu untuk memahami dunia di sekeliling mereka secara kritis dan mampu mengubah realitas sosial yang mereka hadapi. Bagi Freire tanpa literasi, seseorang tidak hanya terputus dari dunia pengetahuan, tetapi juga dari kemampuannya untuk mengkritisi dan berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan sosial dan politik. Pandangan ini menegaskan bahwa literasi memiliki dampak besar pada kapasitas seseorang untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi dan politik di masyarakat.
Dr. Ratih Ibrahim, seorang psikolog pendidikan, menambahkan bahwa literasi yang diperoleh sejak dini berkontribusi signifikan pada perkembangan kognitif dan emosional anak. Menurutnya anak-anak yang memiliki kemampuan literasi sejak dini cenderung lebih percaya diri, mampu beradaptasi dengan situasi baru, dan lebih baik dalam menyelesaikan masalah. Literasi yang baik tidak hanya memperkaya kemampuan intelektual, tetapi juga memperkuat rasa percaya diri dan keterampilan sosial seseorang.
Sejak Usia Berapa Aksara Diperkenalkan kepada Anak?
Pengenalan aksara kepada anak biasanya dimulai pada usia 4-6 tahun, saat mereka berada di Taman Kanak-Kanak (TK). Pada tahap ini, anak-anak mulai dikenalkan dengan huruf dan angka, serta dasar-dasar literasi seperti mengeja dan mengenali kata. Namun, menurut kurikulum pendidikan Indonesia, anak-anak TK tidak diwajibkan bisa membaca dan menulis sebelum masuk Sekolah Dasar (SD). Penekanan pada usia dini lebih kepada pengembangan kemampuan kognitif, motorik, dan emosional yang mendukung literasi di kemudian hari.
Dr. Maria Montessori, pelopor pendidikan anak usia dini, menekankan bahwa pengenalan aksara harus dilakukan secara alami dan menyenangkan, tanpa paksaan. Bagi Montessori, pembelajaran di usia dini harus difokuskan pada stimulasi minat belajar, bukan paksaan untuk bisa membaca dan menulis. Dengan demikian, proses literasi harus dirancang untuk menumbuhkan cinta belajar pada anak, bukan menekankan hasil instan.
Mengapa Peringatan Hari Aksara Sangat Penting bagi Literasi
Peringatan Hari Aksara sangat relevan dalam meningkatkan kesadaran tentang pentingnya literasi bagi masyarakat. Literasi merupakan kunci bagi setiap individu untuk mendapatkan akses pengetahuan, keterampilan, dan peluang ekonomi. Lebih dari sekadar kemampuan membaca dan menulis, literasi membentuk individu yang mampu berpikir kritis, mengolah informasi, dan mengambil keputusan berdasarkan pemahaman yang baik.
Di Indonesia, Hari Aksara memiliki peran penting dalam mengatasi kesenjangan literasi, terutama di daerah-daerah terpencil yang masih kekurangan akses pendidikan. Melalui kampanye literasi, Hari Aksara menegaskan pentingnya komitmen kolektif untuk terus meningkatkan kemampuan literasi bagi semua kalangan, terutama masyarakat marginal.
Paulo Freire menekankan bahwa literasi adalah fondasi yang memungkinkan individu untuk menjadi agen perubahan. Dalam pandangan Freire, literasi tidak hanya memampukan seseorang untuk mengakses informasi, tetapi juga memberdayakan mereka untuk menantang ketidakadilan sosial dan politik yang mereka alami. "Literasi adalah pintu menuju kebebasan dan pemberdayaan," jelas Freire.
Dari sisi psikologis, literasi yang baik mendukung perkembangan emosional dan sosial seseorang. Dr. Ratih Ibrahim menegaskan bahwa literasi yang dimulai sejak dini tidak hanya memberikan manfaat akademis, tetapi juga membantu anak-anak mengembangkan keterampilan komunikasi yang penting. "Kemampuan literasi yang baik meningkatkan rasa percaya diri dan keterampilan sosial anak dalam menghadapi dunia yang semakin kompleks," ujar Ibrahim.
Dengan demikian, Hari Aksara adalah pengingat penting bahwa literasi bukan hanya tugas pemerintah atau lembaga pendidikan, tetapi tanggung jawab bersama. Literasi adalah modal utama dalam menciptakan masyarakat yang cerdas, kritis, dan mandiri. Setiap individu yang literat memiliki potensi untuk membawa perubahan positif, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakat luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H